Makalah
AGAMA ISLAM II
“HUBUNGAN
THAHARAH DENGAN SHALAT
&
HUBUNGAN
SHALAT DAN PUASA”
OLEH :
LA ODE
ALI AMRAN
NIM. 212 102 38
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH KENDARI
2 0 1 3
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa mencurahkan rahmat
dan hidayah-Nya kepada kita, sehingga penyusun masih diberi kemampuan untuk
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam semoga tetap
tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya dan para
sahabatnya serta kepada umatnya sampai akhir zaman.
Penulisan
makalah ini guna untuk memenuhi tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas
mata kuliah Agama Islam II. Penulisan Makalah ini juga dibuat guna
meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang Hubungan Keterkaitan Thaharah, Shalat
dan Puasa. Adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagi penyusun, apabila makalah
ini dapat memberikan manfaat kepada mahasiswa dan mahasiswi lainnya. Penyusun
menyadari bahwa pembuatan makalah ini mengalami kesulitan dan hambatan, namun
berkat bimbingan, petunjuk dan bantuan dari berbagai pihak secara langsung
maupun tidak langsung dalam penyusunan makalah ini, sehingga makalah ini dapat
terselesaikan. Untuk itu kami mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya serta berharap
semoga Allah SWT memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang
telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai
ibadah, AmiinYaaRobbal ‘Alamiin.
Raha,
Juli 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Permasalahan
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Thaharah, Shalat, Puasa
B. Hubungan Thaharah dengan Shalat
C. Hubungan Shalat dengan Puasa
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ibadah adalah hal yang paling urgent bagi umat manusia
karena tujuan hidup manusia untuk ibadah sehingga semua tingkah laku yang kita
kerjakan harus bernilai ibadah atau setiap tingkah laku punya tata cara atau
adab-adab tertentu baik sosialisasi sesama manusia secara khususnya dan umumnya
untuk Allah SWT. Adapula ibadah yang diwajibkan bagi umat manusia yang
tercantum dalam rukun islam yang mempunyai syarat tertentu seperti sebelum
melakukan shalat kita harus bersuci terlebih dahulu yang merupakan syarat syah
shalat setelah itu kita bisa melanjutkan ke rukun kedua yaitu puasa, zakat dan
haji yang saling berhubungan satu sama lain.
B. Rumusan Masalah
•
Apa yang di maksud dengan Thaharah, Shalat dan Puasa?
• Apa yang hubungan Thaharah dengan Shalat?
• Apa yang Hubungan Shalat dengan Puasa?
C. Tujuan Penulisan
Makalah
ini ditulis dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Agama Islam II.
BAB I
PEMBAHASAN
A. Pengertian Thaharah, Shalat dan Puasa
Thaharah secara bahasa berarti nazhafah
(kebersihan) atau bersih dari kotoran baik yang bersifat nyata seperti najis
maupun yang bersifat maknawiyah seperti aib.
Adapun secara
syar’I thaharah adalah menghilangkan
hal-hal yang dapat menghalangi kotoran berupa hadast atau najis dengan
menggunakan air dan sebagainya sedangkan untuk mengangkat najis harus dengan
tanah.
Shalat secara etimologi kata shalat
berasal dari bahasa arab yang berarti do’a. secara terminologi shalat adalah yang terdiri atas beberapa
ucapan dan perbuatan, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam
sesuai dengan syarat dan rukun-rukun yang telah ditetapkan.
Puasa menurut bahasa berarti imsak atau
menahan, sedangkan puasa menurut
syariat ialah menahan dengan niat ibadah dari makanan, minuman, hubungan suami
istri dan semua hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar hingga
terbenam matahari.
B. Hubungan Thaharah dengan Shalat
Sholat merupakan
tradisi yang diwariskan semua Nabi dan Rasul
sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Tradisi sholat yang ada dan
berlaku didunia Islam dewasa ini pada dasarnya dipercaya merupakan sebuah
tradisi yang pernah ada dijaman Nabi yang diajarkan dari generasi kegenerasi.
Sejauh mana keakuratan tradisi
ini bisa mengacu juga pada catatan-catatan yang ada dari para perawi
hadis
Sebelum memulai
sholat, sudah menjadi kesepakatan semua umat Islam untuk melakukan thaharah
atau bersuci, yaitu dengan cara berwudhu. Praktek ini
diperkuat dengan adanya perintah tertulis mengenainya didalam al-Qur’an.
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#rã£g©Û$$sù 4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóøn<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# 9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3Ï÷r&ur çm÷YÏiB 4 $tB ßÌã ª!$# @yèôfuÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ßÌã öNä.tÎdgsÜãÏ9 §NÏGãÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 crãä3ô±n@ ÇÏÈ
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai
dengan kedua mata kaki (Qs. 5 al-Maaidah: 6)
Dalam tradisi
yang ada, teknis perintah berwudhu yang terdapat pada ayat di atas mengalami
perkembangan, yaitu dengan adanya penambahan mencuci kedua tangan sebelum
membasuh muka, lalu berkumur, menghisap air hidung, membasuh telinga hingga
mencuci janggut. Meskipun demikian tidak bisa pula diartikan bahwa penambahan
ini menyalahi ketentuan Allah didalam al-Qur’an. Kita bisa membaca dalam
kitab-kitab hadis terkemuka bahwa penambahan yang terjadi ini dilakukan oleh
Nabi sebagai sunnah beliau untuk lebih membersihkan diri, apalagi bila kita
ingat di masa itu tanah Arabia sebagian besar terdiri dari
bukit-bukit dan padang pasirnya sehingga debu dan kotoran cenderung lebih
banyak melekat.
Dari Usman bin Affan,
bahwa ia pernah meminta bejana, lalu ia menuangkannya keatas kedua telapak
tanganya kemudian membasuhnya, lalu memasukkan yang sebelah kanan di dalam
bejana, kemudian berkumur dan mengisap air hidung, kemudian membasuh mukanya tiga
kali dan kedua tangan sampai siku-siku tiga kali, kemudian mengusap kepalanya,
lalu membasuh kedua kakinya tiga kali sampai kedua mata
kakinya. Kemudian berkata : ‘Aku melihat Rasulullah Saw berwudhu seperti
wudhuku ini. – Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim
Dari
Ali r.a, bahwa ia meminta air wudhu, kemudia ia berkumur dan
mengisap air hidung dan menyemburkan air hidung dengan tangan kirinya, maka ia
berbuat ini tiga kali kemudian berkata : ‘Inilah bersucinya Nabi Saw.’ –
Riwayat Ahmad dan Nasa’i
Dari
Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw mengusap kepalanya dan dua telinganya, luar dan
dalamnya. – Riwayat Tirmidzi
Dari
anas, bahwa Nabi Saw apabila berwudhu maka mengambil seciduk
air kemudian memasukkannya dibawah cetaknya lalu ia menyela-nyela jenggotnya
dan bersabda : ‘Demikianlah Tuhanku memerintahkanku.’ – Riwayat Abu Daud
Karena sifatnya
hanya sunnah, maka berpulang kepada diri kita saja berdasarkan situasi dan
kondisi, apakah ingin berwudhu secara sederhana dan mudah yaitu dengan
mengikuti ketentuan al-Qur’an atau dengan mencontoh sunnah Nabi-Nya. Tidak ada
yang perlu dipertentangkan secara khusus mengenai berwudhu ini, sama misalnya
disebutkan didalam Hadis, bahwa seandainya saja bersiwak atau
menggosok gigi tidak akan memberatkan umatnya pasti akan disunnahkan oleh
Nabi pula untuk melakukannya sebelum kita melakukan sholat.
Dari
Abu Hurairah, dari Nabi Saw : Beliau bersabda : seandainya aku
tidak khawatir akan memberatkan orang-orang beriman (dalam hadis riwayat
Zuhair, disebut umatku), niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali
akan sholat. – Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah,
Ahmad, Malik dan Al-Darami
Berwudhu bisa dilakukan
dengan dua cara, yaitu menggunakan air dan menggunakan tanah atau debu yang
sudah dibersihkan. Adapun cara kedua tersebut dilakukan hanya apabila tidak
dijumpainya air yang bersih atau karena sakit yang mengakibatkannya tidak dapat bersentuhan
dengan air.
bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3Ï÷r&ur 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #qàÿtã #·qàÿxî ÇÍÌÈ
Dan
jika kamu sakit atau habis buang air atau kamu selesai bersetubuh sedang kamu
tidak mendapat air maka hendaklah kamu cari debu yang bersih, lalu hendaklah
kamu sapu muka kamu dan tangan kamu karena sungguh Allah itu sangat memudahkan
dan Maha mengampuni. (Qs. 4 an-Nisaa’ 43)
Usai melakukan
wudhu, berdirilah tegak menghadap kiblat (arah masjid al-Haram) lalu mulailah
bertakbir, yaitu mengucapkan Allahu Akbar (Allah Maha Besar).
Kenapa kita harus sholat ?
Sampai saat ini
masih ada sebagian dari umat Islam menganggap sholat
hanya semata-mata sebagai suatu ritualitas dalam agama yang amalnya akan
bermanfaat kelak dihari kiamat selaku penolong dalam menghadapi siksaan Allah.
Padahal pendapat yang demikian ini tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, sebab
manusia ini memiliki dua kehidupan yang seimbang; yaitu kehidupan masa sekarang
atau alam duniawi dan kehidupan masa yang akan datang atau alam akhirat.
Tuhan tidak akan
memberikan sesuatu yang sifatnya tidak seimbang, karena itu juga perintah
Sholat tidak hanya berfungsi dimasa depan semata namun sebaliknya memiliki
kegunaan yang vital bagi manusia dalam menjalani hari-hari kehidupannya dimasa
kehidupan yang sekarang.
( cÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìs3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷èt $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ
Sesungguhnya, sholat itu mencegah dari perbuatan
keji dan mungkar. (Qs. 29
al-ankabut : 45)
Seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya, didalam diri manusia terdapat dua unsur yang
saling tarik-menarik sehingga menjadikan jiwa condong kesalah satu diantaranya.
Unsur tersebut adalah nilai-nilai
positif (unsur malaikat) dan nilai-nilai negatif (unsur setan).
÷bÎ) óOçFY|¡ômr& óOçFY|¡ômr& ö/ä3Å¡àÿRL{ ( ÷bÎ)ur öNè?ù'yr& $ygn=sù 4 #sÎ*sù uä!%y` ßôãur ÍotÅzFy$# (#qä«ÿ½Ý¡uÏ9 öNà6ydqã_ãr (#qè=äzôuÏ9ur yÉfó¡yJø9$# $yJ2 çnqè=yzy tA¨rr& ;o§tB (#rçÉi9tFãÏ9ur $tB (#öqn=tã #·Î6÷Ks? ÇÐÈ
Jika
kamu berbuat baik, maka kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu
berbuat jahat, maka itu juga untuk dirimu sendiri (Qs. 17 al-israa’ : 7)
Ritualitas sholat
dinyatakan didalam al-Qur’an pada ayat tersebut sebagai suatu sarana
atau wadah untuk mengontrol perbuatan negatif yang seringkali
mendominasi diri manusia. Dengan terjalinnya komunikasi yang baik dengan Tuhan secara vertikal maka diharapkan
secara horisontalpun manusia mampu berbuat baik kepada
sesamanya bahkan lebih jauh kepada semua hamba Tuhan diluar dirinya.
Namun fakta di lapangan
juga membuktikan bahwa banyak orang Islam yang rajin melakukan sholat namun
kelakuan dan sifatnya justru tidak sesuai dengan kehendak Tuhan yang ada pada
surah al-Ankabut ayat 45 tadi, betapa banyak orang yang kelihatannya rajin
sholat namun tetap bergunjing, melakukan zinah, pelecehan seksual, bahkan bila
dia seorang penguasa yang memiliki jabatan akan memanfaatkannya untuk
menganiaya orang lain, melakukan penindasan, korupsi bahkan sampai pada
pembunuhan dan peperangan. Inilah contoh manusia yang telah lalai dalam
sholat mereka.
×@÷uqsù ú,Íj#|ÁßJù=Ïj9 ÇÍÈ tûïÏ%©!$# öNèd `tã öNÍkÍEx|¹ tbqèd$y ÇÎÈ
Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat. Yaitu orang-orang yang melalaikan
sholatnya (Qs. 107 al-maa’uun : 4-5)
Bila sudah
seperti ini, maka kita patut memperhatikan firman Allah yang lain :
ö@è% zsDr& În1u ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( (#qßJÏ%r&ur öNä3ydqã_ãr yZÏã Èe@à2 7Éfó¡tB çnqãã÷$#ur úüÅÁÎ=øèC ã&s! tûïÏe$!$# 4 $yJx. öNä.r&yt/ tbrßqãès? ÇËÒÈ
Luruskan
mukamu di setiap sholat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan keta’atanmu
kepada-Nya (Qs. 7 al-a’raaf : 29)
Dari ayat
tersebut, Allah hendak menyampaikan kepada manusia bahwa sholat itu memerlukan
sikap lahir dan batin yang saling berkolerasi atau berhubungan. Meluruskan muka
adalah memantapkan seluruh gerakan anggota tubuh dan menyesuaikannya dengan
konsentrasi jiwa menghadap sang Maha Pencipta
alam semesta. Disaat mulut membaca al-Fatihah, hati harus mengikutinya dengan
sebisa mungkin memahami secara luas arti al-Fatihah sementara pikiran
berkonsentrasi dengan gerak mulut dan hati, inilah keseimbangan yang di-istilahkan
dengan khusuk dalam ayat berikut :
ôs% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# ÇÊÈ tûïÏ%©!$# öNèd Îû öNÍkÍEx|¹ tbqãèϱ»yz ÇËÈ
Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, Yaitu orang-orang yang khusuk dalam
sholatnya (Qs. 23 al-mu’minuun : 1-2)
Jadi, khusuk
adalah suatu perbuatan yang menyeimbangkan gerak lahir dan batin, sehingga
terciptalah suatu konsistensi ketika ia diterapkan dalam kehidupan nyata,
sesuai dengan komitmen yang dilafaskan dalam do’a iftitah :
ö@è% ¨bÎ) ÎAx|¹ Å5Ý¡èSur y$uøtxCur ÎA$yJtBur ¬! Éb>u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÏËÈ
Katakanlah:
Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan
semesta alam (Qs. 6 Al-An’am:162)
Akhirnya sholat
merupakan ritualitas multi dimensi yang semuanya mengarah kepada sipelakunya sendiri agar mendapat kebaikan,
baik dalam hal mengontrol diri ketika masih hidup didunia maupun menjadi amal
yang membantu saat penghisaban dihari kiamat kelak.
ô`tBur ß`|¡ômr& $YYÏ ô`£JÏiB zNn=ór& ¼çmygô_ur ¬! uqèdur Ö`Å¡øtèC yìt7¨?$#ur s'©#ÏB zOÏdºtö/Î) $ZÿÏZym 3 xsªB$#ur ª!$# zOÏdºtö/Î) WxÎ=yz ÇÊËÎÈ
Lalu
siapakah yang lebih baik agamanya selain orang yang ikhlas menyerahkan dirinya
kepada Allah sedang diapun mengerjakan kebaikan ? (Qs. 4 an-Nisaa’: 125)
Sebagai pengantar
awal, harus kita ingat lagi bahwa Sholat adalah sarana untuk memuja Tuhan
sebagai salah satu sikap bersyukur dan sekaligus waktu untuk melakukan dialog,
mengadukan semua keluh kesah yang dialami dan mencari jalan keluar dari
aneka ragam permasalahan yang ada. Lebih jauh lagi ditinjau dari sisi
metafisika, Sholat tidak ubahnya sebuah ritual meditasi,
pemusatan konsentrasi untuk menyelaraskan energi yang ada didalam tubuh (energi
statis) terhadap energi diluarnya yang maha besar (yang bersifat dinamis).
Dengan demikian,
saat sholat terjadi kita sebenarnya sedang memancarkan sinyal-sinyal frekwensi
terhadap alam semesta, terhadap lingkungan kita dan menjangkau sinar-sinar kosmik
ilahiah yang sifatnya tak hingga. Karena itulah orang yang selalu
melakukan sholat secara baik, dia bisa terhindar dari energi negatif yang
mencelakakannya atau menggiringnya kedalam kehinaan.
cÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìs3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷èt $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ
Sesungguhnya, sholat itu mencegah dari perbuatan
keji dan mungkar (Qs. 29
al-ankabut : 45)
Sebelum memulai
sholat, sudah menjadi kesepakatan semua
umat Islam dari berbagai alirannya untuk melakukan thaharah atau
bersuci, yaitu dengan cara berwudhu. Praktek ini diperkuat dengan
adanya perintah tertulis mengenainya didalam al-Qur’an.
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$#
..... ÇÏÈ
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai
dengan kedua mata kaki…. (Qs. 5 al-Maaidah: 6)
Dalam tradisi
yang ada, teknis perintah berwudhu yang terdapat pada ayat diatas mengalami
perkembangan, yaitu dengan adanya penambahan mencuci kedua tangan sebelum membasuh
muka, lalu berkumur, menghisap air hidung, membasuh telinga hingga mencuci
janggut. Meskipun demikian tidak bisa pula diartikan bahwa penambahan ini
menyalahi ketentuan Allah didalam al-Qur’an. Kita bisa membaca dalam
kitab-kitab hadis terkemuka bahwa penambahan yang terjadi ini dilakukan oleh
Nabi Muhammad sendiri sebagai sunnah beliau untuk lebih membersihkan diri,
apalagi bila kita ingat dimasa itu tanah Arabia sebagian besar
terdiri dari bukit-bukit dan padang pasirnya sehingga debu dan kotoran cenderung
lebih banyak melekat. Apalagi ada kemungkinan besar orang-orang Arab itu gemar
memelihara jenggot sampai panjang kebawah, sementara al-Qur’an tidak memberikan
informasi mengenai boleh tidaknya membasahi janggut sewaktu berwudhu, sederhana
dan sepele kelihatannya, tetapi kita harus ingat, untuk urusan sepelepun
terkadang kita sering salah, apalagi jika kita lihat konteks ayat tersebut
turun dimana para pemeluk Islam generasi pertama masih dalam proses belajar
agama yang baru mereka anut, adalah wajar dan rasional sekali bila hal seperti
ini memerlukan jawaban atau contoh dari sipembawa ajaran itu sendiri.
Berwudhu bisa
dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan air dan menggunakan tanah atau debu
yang sudah dibersihkan. Adapun cara kedua tersebut dilakukan hanya apabila
tidak dijumpainya air yang bersih atau karena sakit yang mengakibatkannya tidak
dapat bersentuhan dengan air.
bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3Ï÷r&ur 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #qàÿtã #·qàÿxî ÇÍÌÈ
Dan
jika kamu sakit atau habis buang air atau kamu selesai bersetubuh sedang kamu
tidak mendapat air maka hendaklah kamu cari debu yang bersih, lalu hendaklah
kamu sapu muka kamu dan tangan kamu karena sungguh Allah itu sangat memudahkan
dan Maha mengampuni. (Qs. 4 an-Nisaa’ 43)
Usai melakukan
wudhu, berdirilah tegak menghadap
kiblat (arah masjid al-Haram) lalu mulailah bertakbir , yaitu mengucapkan
Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Istilah Allahu Akbar ini memang tidak dijumpai
dalam al-Qur’an, sebaliknya al-Qur’an memperkenalkan sifat al-Kabir sebagai
salah satu asma Allah
Akan tetapi harus
diingat bahwa dalam ayat-ayat tersebut Tuhan memerintahkan kita untuk
mengagungkan-nya, membesarkan-Nya. Sementara kata al-Kabir sendiri berfungsi
sebagai kata kerja (verb) didalam bahasa Arab yang jika diucapkan (dilakukan)
bisa menjadi Akbar, Istilah Takbirah adalah bentuk noun dari ungkapan Allahu
Akbar sebagaimana yang bisa dijumpai dalam tradisi Arabia.
yang artinya
agungkanlah Dia #Surah
17:111 menyebutkan istilah dengan
pengagungan yang sebenar-benarnya (Kabbir takbiran) dan ini adalah bersamaan
maknanya dengan Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Kita tidak bisa menolak
istilah Allahu Akbar seperti yang dijumpai dalam tradisi sholat dan
diriwayatkan oleh sejumlah hadis hanya karena istilah ini tidak dijumpai
didalam al-Qur’an, apalagi menggantinya dengan istilah Allahu Kabir seperti
yang dilakukan oleh sejumlah orang ingkar sunnah. Terbukti didalam tradisi yang sampai
kepada kita dari generasi kegenerasi, tidak ada satupun terdengar berita dalam
berbagai saluran periwayatan bahwa Nabi ataupun seorang Muslim diluarnya mengucapkan
Allahu Kabir didalam sholat.
C. Hubungan Shalat dengan Puasa
Dalam agama
Islam, kita mengenal istilah Rukun Islam, yang terdiri dari lima perkara yaitu
: syahadat, shalat, puasa. zakat dan haji. Kelima perkara itu merupakan satu
kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan, makanya perkara tersebut
dinamakan rukun, yang artinya satu kesatuan atau tidak terpisah. Sebenarnya
kata “rukun” berasal dari serapan bahasa Arab, yaitu ruku’ yang artinya sudut
atau siku. Sedangkan Islam berarti damai. Berdasarkan arti ini, dapat
disimpulkan bahwa untuk mencapai kedamaian (Islam) dapat ditempuh dengan lima
sudut jalan dimana kelima sudut tersebut saling berhubungan. Kelima sudut Islam
tersebut, dapat diumpamakan gambar segi empat.
Berdasarkan
gambar segiempat, terlihat bahwa sudut puasa merupakan pusat dari empat sudut
rukun Islam lainnya. Kalau dikaitkan dengan jari tangan kita, rukun Islam dapat
diumpamakan jari tengah adalah simbol puasa, sedangkan jari jempol simbol dari
syahadat, jari telunjuk simbol dari shalat, jari manis simbol dari zakat dan
jari kelingking simbol dari haji. Kelima jari tangan kita merupakan satu
kesatuan yang utuh dan sempurna.
Mengapa ibadah
puasa menjadi pusat dari rukun Islam ? Inilah misteri yang akan kita bahas.
Kita sudah mengetahui bahwa hanya ibadah puasalah yang bersifat sangat rahasia
kerena untuk mengetahui seseorang itu berpuasa atau tidak hanya dirinya dan
Allah-lah yang mengetahuinya. Sehingga ibadah puasa menjadi rahasia bagi
seorang hamba dengan Tuhannya.
“Setiap amal anak
Adam adalah untuk anak Adam itu sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu
untuk-Ku, dan Akulah yang akan memberi ganjaran atas puasanya itu”. (HR
Bukhari)
Dari Hadits
tersebut, ternyata hanya ibadah puasalah yang amalnya diperuntukkan Allah.
Kemudian hanya Allah yang berhak memberi ganjaran atas puasanya itu. Apakah
ganjaran bagi orang yang berpuasa itu ? terlihat dengan jelas bahwa ganjaran
bagi orang yang berpuasa adalah kegembiraan ketika berbuka dan bertemu dengan
Allah. Selama ini kita sudah berpuasa sekian tahun, akan tetapi, sudahkah kita
mendapat pengalaman spiritual yang sangat mengembirakan yaitu bertemu dengan
Allah Yang Maha Indah ? Kalau kita sudah berpuasa tapi belum pernah bertemu
dengan Allah, lalu bagaimana caranya agar puasa kita dapat mengantarkan diri
kita mencapai pengalaman bertemu dengan Allah ?
Intisari dari
amal ibadah puasa adalah menahan, mengekang dan mengendalikan diri kita dari
makan dan minum serta dorongan hawa nafsu kita yang keluar dari sembilan lubang
kehidupan yang ada dikepala dan tubuh kita. Proses menahan aktivitas inderawi
ini, sebenarnya sudah pernah kita alami dan lakukan, tetapi sayangnya kita
telah melupakan peristiwa tersebut. Pengalaman berpuasa itu adalah ketika diri
kita masih berupa janin bayi yang berada dalam kandungan seorang ibu. Di dalam
kandungan tersebut, kita sebagai bayi, tidak melakukan aktivitas inderawi,
karena kita sedang berendam dalam air ketuban yang mengalir dan bersirkulasi.
Dengan kata lain, saat itu kita tidak makan dan minum melalui lubang mulut,
kita juga tidak melakukan buang air besar dan kecil, tidak berbicara kotor,
tidak melihat dan mendengar hal-hal yang berbau maksiat. Singkatnya kita memang
sedang melakukan ibadah puasa secara kafah atau total selama sembilan bulan.
Saat itulah kita sedang menerima dan menikmati kegembiraan yang luar biasa,
yaitu kita sedang mendapat curahan kasih dan sayang dari Allah di alam rahim.
Kita saat itu tidak merasakan bahagia atau sedih, panas atau dingin, manis atau
pahit dan sebagainya. Mengapa hal itu bisa kita alami ? karena kita saat itu
sedang bertatap muka (tawajuh) dengan Allah di alam rahim-Nya. Sesuai dengan
firman-Nya :
“Sesungguhnya aku hadapkan wajahku
kepada Wajah Allah, yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kehanifan dan
aku tidak termasuk orang musyrik” (QS Al An’am 6 :179)
Setelah lahir,
pintu indera jasmani kita terbuka dan mulai menikmati keindahan duniawi, disisi
lain pintu-pintu indera batin kita perlahan mulai tertutup, sehingga lambat
laun kita melupakan pengalaman bertemu dengan Allah ketika berpuasa di dalam
kandungan tersebut.
Untuk mendapatkan
kembali pengalaman bertemu dengan Allah itu dengan berpuasa, di utuslah para
Nabi dan Rasul dengan membawa Kitab-Kitab Suci-Nya, yang isinya adalah
Peringatan (Adz Dzikra) yang mengingatkan kita, karena kita telah lupa ingatan
terhadap asal mula kejadian kita dalam kandungan. Para Juru Ingat tersebut
menyeru dengan satu seruan agar kita kembali menghadap dan menemui asal kita
yaitu Allah dengan cara mengulang kembali ke awal mula kejadian diri kita
dahulu. Seruan itu di isyaratkan dalam Al Qur’an dan Injil :
“Katakanlah : “Sesungguhnya aku
mengajarkan kepada kamu dengan satu ajaran saja, yaitu bahwa kamu harus bangkit
untuk menghadap Allah , berdua-dua atau sendiri-sendiri, kemudian hendaklah
kamu pikirkan , tiadalah sahabat kamu itu gila, dia tiada lain hanyalah pemberi
Peringatan kepada kamu, sebelum datang azab yang sangat keras”. ( QS Saba’ 34 :
46)
“Sesungguhnya kamu akan datang
kembali menemui Kami dengan sendiran seperti kamu Kami ciptakan pada awal mula
penciptaan, dan pada saat itu kamu akan meninggalkan dibelakangmu semua apa
yang dianugerahkan Allah kepadamu.........”. (QS Al An’am 6 : 94)
“Yesus berkata : Sesungguhnya aku
berkata kepadamu, Jika kamu tidak kembali seperti bayi dalamkandungan,
sekali-kali kamu tidak dapat masuk ke dalam kerajan Allah”. (Injil, Matius 18 :
3)
Jika kita ingin
bertemu dengan Allah, kita harus menggingat dan mengulang kembali perjalanan
dan pengalaman diri kita, ketika diciptakan oleh Allah pada pertama kali, yaitu
ketika diri kita terendam dalam air ketuban dan ketika inderawi kita sedang
tidak berfungsi.
Untuk mengulang
kembali peristiwa itu Allah memerintahkan kita untuk melakukan ibadah puasa
seperti yang pernah kita lakukan dahulu dalam kandungan seorang ibu. Inilah
perintah puasa yang diisyaratkan oleh Allah dalam Al Qur’an :
“Wahai orang-orang yang beriman,
telah ditetapkan atas kamu berpuasa seperti telah ditetapkan kepada orang-orang
terdahulu dari kamu supaya kamu terpelihara”. (QS Al Baqarah 2 : 183)
Berdasarkan ayat
tersebut, Allah memerintahkan agar kita berpuasa kembali seperti puasa yang per
nah kita lakukan dahulu dalam kandungan seorang ibu. Mungkin timbul pertanyaan
dalam diri kita, bagaimana caranya kita kembali ke dalam kandungan atau alam
rahim ?
Kita sering tidak
menyadari arti kata “kamaa”. Dalam ayat-ayat diatas. Dalam bahasa Arab, kata
“kamaa” artinya adalah “seperti, sebagaimana atau bagaikan”. Dari arti ini
dapat disimpulkan bahwa perintah untuk kembali ke awal kejadian adalah bukan
dalam arti sesungguhnya, tetapi mirip dengan kejadian awal. Jadi kita harus
mengkondisikan diri kita seperti kondisi yang mirip dengan suasana di dalam
kandungan. Suasana dalam kandungan adalah penuh kedamaian, karena indera kita
sedang tidak berfungsi. Begitupula jika kita melakukan ibadah puasa, kita bukan
saja manahan diri dari makan dan minum saja tetapi juga harus menahan diri dari
mendengar, melihat, dan mencium aroma yang ada di luar diri kita. Pada saat itu
yang kita lakukan hanyalah berdzikrullah sampai kita bertemu dengan Allah, yang
dikiaskan dengan munculnya “Asy Syamsu”(matahari) atau “Asy Syahru” (bulan).
“....Barang siapa diantara kamu
menyaksikan “syahra”, maka hendaklah ia berpuasa....”.(QS Al Baqarah 2 : 185)
Kata “syahra” merupakan
kata simbolis dari Nur Allah yang tajalli dalam diri orang yang berpuasa. Pada
saat Nur Allah tajalli dalam diri dan tersaksikan, maka orang tersebut harus
berpuasa dengan menahan diri untuk tidak makan, minum, mendengar, melihat,
berbicara dan berfikir yang negatif. Inilah yang dikatakan dalam bahasa agama,
bahwa kita mengawali berpuasa dengan sistem ru’yat. Apakah yang diru’yat oleh
orang yang berpuasa ? tentunya adalah Ru’yatullah (melihat Allah).
Ada juga yang
melakukan ibadah puasa dahulu baru kemudian nanti melihat “syahra”, inilah yang
disebut dengan mengawali puasa dengan sistem “hisab”. Artinya seseorang menahan
diri dulu dari aktifitas inderawi, baru kemudian secara perlahan dia akan
melihat “syahra” atau Nur Allah.
Berapa lama kita
melakukan ibadah puasa, tergantung dari seberapa lama “Asy Syamsu” tersaksikan
oleh pelaku puasa. Dengan kata lain lamanya puasa kita tergantung dari seberapa
lama Nur Allah yang tajalli dan tersaksikan oleh mata batin kita. Inilah, yang
dalam bahasa syariat, bahwa orang berpuasa dimulai dari terbitnya sinar
matahari sampai terbenamnya sinar matahari. Peristiwa inilah yang diisyaratkan
dalam Al Qur’an.
“Apakah engkau mengira sesungguhnya
penghuni gua dan raqim itu adalah termasuk tanda-tanda Kami yang mengagumkan?
Ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua, lalu mereka berkata : “ Ya
Tuhan kami, berilah kami rahmat dari sisi-Mu dan siapkanlah petunjuk dalam
urusan kami”. Lalu Kami menutup telinga mereka di dalam gua itu bertahun-tahun
lamanya. Kemudian Kami bangunkan mereka untuk Kami buktikan siapa yang lebih
dapat menghitung masa mereka tinggal”. (QS Al Kahfi 18 : 9-12)
“Dan engkau mengira mereka bangun
padahal mereka tidur. Kami balikkan mereka ke kanan dan ke kiri sedang anjing
mereka terbentang kedua lengannya di muka pintu gua...”. (QS Al Kahfi 18 :
18)
Secara simbolis,
ayat tersebut diatas sebenarnya mengisahkan peristiwa seorang yang sedang
melakukan puasa dalam rangka bertemu dengan Allah, yang dilakukan oleh “ tujuh
penghuni gua”.
Ash Habul Kahfi
artinya penghuni gua yang berjumlah tujuh. Ini adalah simbol dari tujuh rasa
kesadaran yang menghuni tujuh lubang inderawi yang ada di kepala manusia.
Sedang raqim (batu tulis) adalah simbol dari petunjuk yang telah ditanamkan
dengan kuat dalam qalbu penghuni gua. Sedangkan anjing simbol dari struktur
bangunan tubuh manusia.
Ketika pengaruh
kenikmatan duniawi yang tercerap oleh tujuh lubang inderawi kita, sudah
sedemikian kuat. Maka kita harus secepatnya melindungi diri kita dari pengaruh
kenikmatan duniawi tersebut dengan cara “berpuasa” menahan aliran kesadaran
yang mengarah keluar menjadi ke arah dalam diri dengan cara menutup “pintu gua
inderawi”. Setelah pintu gua inderawi tertutup, maka kita bermohon kepada Allah
agar diberikan Rahmat dan Rahim serta Nur Hidayah. Munculnya Rahmat dan Hidayah
ini dikiaskan dengan terlihatnya sinar matahari yang terbit dari kanan gua ke
arah kiri gua. Dengan munculnya Nur Allah yang dikiaskan dengan “Sinar
matahari” yang tersaksikan oleh mata batin kita, maka lambat laun kesadaran
jasmani kita akan menghilang secara berangsur-angsur, sehingga kita tidak lagi
mengingat lintasan peristiwa yang terjadi diluar diri kita, sampai kita
terbangun kembali dengan kesadaran yang baru.
Selama pintu gua
tertutup, maka selama itu pula hawa nafsu yang bersarang pada jasmani kita
tidak dapat masuk kedalam gua, inilah yang dikiaskan dengan “anjing”nya
menunggu diluar dengan membentangkan kedua lengannya ke arah pintu gua. Arti
simbolis dari membentangkan atau menjulurkan kedua lengan ke arah muka pintu
gua adalah bahwa, agar kita terbebas dari cengkeram dan kejaran hawa nafsu yang
ganas, maka kita harus berlindung ke dalam gua dengan cara menutup pintu gua
dengan tangan kita. Agar rangsangan nafsu yang tercerap oleh inderawi akan mati
secara perlahan. Ketika hal ini terjadi, barulah kita akan melihat kehadiran
Nur Allah dengan mata batin kita.
Menutup pintu gua
inderawi dengan kedua lengan “anjing” kita, inilah yang disebut dengan
mengangkat kedua tangan kita mendekat ke arah pintu inderawi yang ada dikepala,
ketika kita melakukan gerakan “Takbirat al Ihram”(Takbir Larangan). Di saat
inilah, kita mengharamkan telinga kita untuk mendengarkan suara apapun kecuali
Suara Allah, mengharamkan mata kita untuk melihat apapun kecuali melihat obyek
sujud kita yaitu Nur Allah, mengharamkan hidung kita kecuali untuk mencium
aroma Nur Ilahi dan mengharamkan mulut kita mengucap sesuatu kecuali
mengucapkan kalam Ilahi.
Akhirnya dapat
disimpulkan bahwa puasa pada hakikat adalah cikal bakal dari semua peribadatan
dalam rukun Islam, karena dengan berpuasa sesungguhnya kita juga telah
terhubung (shalat,shilah) dengan Allah (shalatullah). Dengan berpuasa kita juga
telah menyaksikan kehadiran Allah(syahadatullah). Dengan berpuasa, kita juga
telah melakukan zakat (menyucikan) tujuh penghuni gua inderawi. Dan terakhir,
ketika kita berpuasa, sesungguhnya kita sedang bertamu untuk ketemu dengan
Allah dengan wuquf (menghentikan) jalannya aktifitas inderawi dalam rangka
untuk ‘Arafah (mengenal) Cahaya Allah Yang Sangat Padang (ma’rifatullah) di
padang ‘Arafah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Thaharah
adalah bersih dari kotoran atau mensucikan diri
Shalat
adalah ibadah yang terdiri atas beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai
dengan takbir yang diakhiri dengan salam
Puasa
adalah menahan dengan niat ibadah dari makanan, minuman, hubungan suami istri
dan semua hal yang membatalkan puasa
B. Saran
Agama Islam
sangat memperhatikan masalah thararah karena dalam ilmu fiqih poin pertama yang
dijumpai adalah masalah thaharah. Shalat, adalah tiang agama karena tanpa
shalat berarti kita sama saja meruntuhkan agama. Ibarat rumah, kalau tidak ada
tiangnya tentu akan runtuh. Puasa adalah menahan nafsu. Islam mengajak kita
berpuasa agar menahan nafsu. Semoga makalah ini sangat bermanfaat bagi kita
semua. Jika terdapat kesalahan harap dimaklumi, karena manusia tidak pernah
luput dari kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment