Tuesday 24 May 2016

Riwayat Freeport Memburu Harta Karun di Papua

Riwayat Freeport Memburu Harta Karun di Papua



Riwayat Freeport Memburu Harta Karun di Papua

Di atas ketinggian sekitar 4 ribu meter di atas permukaan laut, gunung bijih Grasberg ibarat kawah raksasa. Setelah dikeruk sejak 1988, gunung itu menganga dengan lubang besar berdiameter 4 kilometer dan kedalaman satu kilometer.

“Grasberg merupakan penemuan permata paling besar dan berkilau dalam mahkota Freeport,” tulis komisaris PT Freeport Indonesia, George A Mealey, dalam buku Grasbergyang diterbitkan tahun 1996. 

Grasberg tidak hanya memukau sebagai 'mahkota' Freeport. Temuan cadangan emas di sana juga menyilaukan masyarakat dunia. Tambang emas terbesar di dunia itu memiliki cadangan 29,8 juta troy ons bijih emas. Selain menyimpan emas, Grasberg terkenal dengan cadangan tembaga paling banyak ketiga di dunia.

Hingga kini hanya Freeport yang menambang di Papua, pulau di Indonesia dengan kekayaan sumber daya mineral melimpah. Sebelum mengeksploitasi Grasberg, Freeport menambang emas dan tembaga di Erstberg sejak 1972. Penemuan dua kawasan "harta karun" ini berkat jasa penjelajahan Jean Jacques Dozy pada 1936.

Awal Mula Freeport ke Papua

Geolog muda kebangsaan Belanda, Jean Jacques Dozy, pada 1936 bersama rombongan kecil mengembara Papua atas prakarsa dan biaya sendiri. Tujuan utama Dozy adalah mendaki gletser Cartensz yang ditemukan Jan Cartenszoon pada 1623 saat menjelajah Papua.

Dozy penasaran dengan temuan Cartensz mengenai puncak gunung yang tertutup salju di Papua. Laporan Cartensz ini sempat menjadi bahan olok-olok karena dinilai mustahil ada gletser di kawasan khatulistiwa.

Ketika sedang menjelajah Cartensz ini, Dozy terpukau melihat pegunungan tanpa pepohonan atau tundra yang kemudian dia namakan Grasberg yang artinya Gunung Rumput.


Grasberg Penambangan Tembaga dan Emas di Pegunungan Irian Jaya Pada Endapan yang Terpencil di Dunia karya George A. Mealey.

Tak jauh dari Gunung Rumput, Dozy juga membuat sketsa batuan hitam kokoh berbentuh aneh, menonjol di kaki pegunungan setinggi 3.500 meter. Batuan hitam itu dia namakan Erstberg yang artinya Gunung Bijih.

Dalam penjelajahannya itu, Dozy juga mengambil batuan yang kemudian dikirim ke laboratorium. Hasil analisis serta penjelasan batuan diterbitkan dalam Jurnal Geologi Leiden tahun 1939. Pecahnya perang dunia membuat laporan itu tak mendapatkan perhatian.

Eksekutif dari perusahaan tambang asal Amerika, Freeport Sulphur, yang pertama kali menggali 'kekayaan' catatan Dozy pada 1959. Pada awal tahun yang sama, Freeport baru saja kehilangan pertambangan bijih nikel di Kuba akibat nasionalisasi perusahaan di bawah pimpinan Fidel Castro.

Forbes K. Wilson, manajer eksplorasi Freeport Sulphur yang kemudian menjadi Presiden Director Freeport Mineral, mendapatkan informasi mengenai catatan Dozy dari Jan Van Gruisen, eksekutif dari perusahaan East Borneo Company.

Wilson sangat tertarik untuk mengeksplorasi Erstberg. “Saya akan melihat sendiri Erstberg dan akan berusaha sampai mati,” kata Wilson kepada Mealey.

Freeport pun tak tanggung-tanggung membiayai ekspedisi dan eksplorasi Wilson senilai US$120 ribu. Menurut Mealey, nilai itu pada 1996 sekitar US$1 juta dolar.

Meski saat itu Wilson berusia 50 tahun, dia bertekad berhasil mencapai Gunung Bijih yang berwarna hitam. Menurut Mealey, sebagai persiapan ekspedisi, Wilson menghentikan kebiasaan merokok yang sudah 30 tahun dan menerima imunisasi dari hampir semua penyakit yang pernah dikenal manusia.

“Dia melatih diri hidup di hutan rimba dan pegunungan tinggi yang dingin,” kata Mealey. Penjelajahan Wilson dibantu beberapa ahli seperti geolog, insinyur, botanis serta perwira polisi. Wilson membuat catatan khusus perjalanannya dalam buku The Conquest of Cooper Mountain.

Penjelajahan Wilson dan tim berhasil memastikan cadangan bahan tambang berharga di Erstberg. Pada masa awal ditemukan, diperkirakan adanya cadangan 33 juta ton bijih besi dengan kandungan tembaga sebesar 2,5 persen. Namun, Freeport masih membutuhkan izin dan kepastian investasi. Di periode itu, Indonesia mengalami gonjang-ganjing politik, mulai dari perang perebutan wilayah Papua Barat hingga Tragedi 1965.

Freeport memproses perizinan dengan mendapatkan bantuan dari Julius Tahija yang berperan sebagai perantara. Menurut Mealey, Julius yang mengatur pertemuan antara pejabat Freeport dengan Menteri Pertambangan dan Perminyakan Indonesia, Ibnu Sutowo di Amsterdam.

Selain itu, Freepot menyewa pengacara Ali Budiarjo yang pernah menjadi Sekretaris Jenderal dan Pertahananan Direktur Pembangunan Nasional pada 1950an. Berkat bantuan Ali, Freeport menjadi perusahaan yang pertama kali mendapatkan Kontrak Karya dengan masa 30 tahun, setelah lahirnya Undang-Undang Penanaman Modal pada 1967. Belakangan Ali didaulat sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia pada 1974-1986.

Eksplorasi Grasberg
Pada 1980, Freeport bergabung dengan McMoran, perusahaan eksplorasi minyak dan gas yang dipimpin James Robert Jim Bob Moffett. Perusahaan kemudian berganti nama menjadi Freeport McMoran dengan Freeport Indonesia sebagai anak usaha.

Menurut Mealey, sejak Moffet ditunjuk sebagai pimpinan Freeport McMoran pada 1984, dia memerintahkan seluruh jajaran Freeport meningkatkan eksplorasi. Selain itu, cadangan Erstberg diperkirakan habis pada 1987.

Eksplorasi pertama dilakukan geolog Dave Potter dengan meneliti Grasberg. Potter dan rekan-rekannya mengebor gunung dengan kedalaman 200 meter pada 1985. Namun, hasil pemboran pertama itu tidak meyakinkan.

Kemudian pada 1987, Potter mendarat dengan helikopter di atas puncak gunung dan mulai mengumpulkan contoh batuan permukaan. Hasil analisis laboratorium menyatakan batuan mengandung emas dengan kadar yang sangat tinggi.

Moffet pun mendorong pemboran di Grasberg. Pada akhir 1980-an, Mealey turut bergabung dengan Potter membuat beberapa lubang bor.

Dari pengalaman eksplorasi, tulis Mealey, Grasberg berbeda dengan puncak-puncak yang mengelilinginya. Grasberg yang ketinggiannya lebih rendah, memungkinkan pepohonan besar tumbuh, tetapi dalam kenyataannya vegetasi yang tumbuh di atas permukaan hanyalah sejenis rumput kasar.

“Anomali vegetasi ini yang merupakan indikasi yang dicari para geolog,” tulis Mealey.

Kawasan Grasberg di Tembagapura, Papua. (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)

Menurut Mealey, pertumbuhan pohon dan semak di Grasberg terhalang oleh tanah yang bersifat asam, tetapi tidak menjadi masalah bagi jenis rumput kasar untuk tumbuh. 

“Keasaman tanah adalah hasil proses pelindian alam terhadap mineral-mineral sulfida yang mengandung tembaga dan emas,” kata Mealey.

Pengetahuan di atas merupakan kesimpulan yang diperoleh belakangan. Namun, lanjut Mealey, banyak anomali vegetasi seperti itu terjadi di dunia, tetapi tidak selalu berkaitan dengan mineralisasi komersial seperti di Grasberg.

Pemboran di Gunung Grasberg dilakukan di lima titik dimulai dari bagian puncak. Empat lubang pertama menunjukkan kadar emas dan tembaga, namun tidak terdapat konsentrat endapan emas. Hasil pemboran ke lima membuat Freeport terkesima karena dari 611 meter kedalaman bor, 591 meter menembus lapisan bijih yang mengandung kadar tembaga 1,69 persen dan kadar emas 1,77 gram per ton.

“Hasil pemboran ini dianggap yang paling hebat yang pernah ada dalam sejarah industri pertambangan,” tulis Mealey.

Grasberg mulai dieksploitasi pada 1988. Tiga tahun setelah pengerukan itu, Freeport mendapat perpanjangan Kontrak Karya II dengan masa 30 tahun dan akan habis pada 2021.

Pada 1995, cadangan Grasberg sebanyak 40,3 miliar pon tembaga dan 52,1 juta ons troy emas. Dengan eksploitasi Grasberg, cadangan Freeport meningkat dua kali lipat.

“Kami mengoperasikan pabrik pengolahan yang canggih dan biaya produksi kami mungkin yang terendah di dunia. Ada perkiraan bahwa Freeport akan tetap mampu meraih keuntungan dari tambang di Irian Jaya untuk 45 tahun ke depan,” tulis Mealey.

Pengolahan bijih tambang PT Freeport Indonesia, Tembagapura, Mimika, Papua. (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa).
Tambang Bawah Tanah
Setelah dikeruk hampir 30 tahun, cadangan emas dan tembaga di penambangan terbuka(open pit) Grasberg akan habis pada 2017. Freeport pun terus melanjutkan eksploitasi dengan menambang bawah tanah.

Ada tiga tambang bawah tanah yang akan menjadi masa depan Freeport, yakni Deep Ore Zone (DOZ), Big Gossan dan Deep Mill Level Zone (DMLZ).

Sejak 2010 tambang bawah tanah DOZ mulai beroperasi. Produksinya berupa bijih yang mengandung tembaga, emas, dan peraknya mencapai 60 ribu ton bijih per hari dengan puncaknya pernah mencapai 80 ribu ton bijih per hari.

Adapun Big Gossan yang saat ini produksinya sangat selektif dan tidak banyak. Sejak September 2015, tambang DMLZ dibuka. Setiap harinya, Freeport‎ mengolah sekitar 220 ribu -240 ribu ton ore atau bijih.

Freeport berniat memperpanjang kontrak kerja dengan pemerintah dan hingga kini belum ada kepastian apakah pemerintah memberikan perpanjang kontrak atau tidak.

No comments: