Kartini Bukan Pahlawan
Raden Ajeng Kartini, yang secara resmi tercatat
sebagai pahlawan nasional nomor 23, bukanlah pahlawan nasional perempuan yang
pertama. Posisi Kartini dalam daftar urut pahlawan nasional berada di bawah Cut
Nyak Dien dan Cut Meuthia, dua pejuang Aceh yang angkat senjata melawan
pendudukan Belanda.
(Pahlawan nasional nomor 1 ditempati Abdoel Moeis, seorang lelaki-pengarang
[alias bukan pejuang di medan perang] dari Sumatera.)
Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meuthia, dan Kartini, bersama-sama ditetapkan sebagai
pahlawan nasional melalui Keputusan Presiden [Keppres] No. 106/1964 yang
ditandatangani Presiden Sukarno.
Sebelumnya, sudah ada 20 pahlawan nasional yang semuanya laki-laki.
Komposisinya: 11 orang Jawa, 2 orang Sunda, 1 Betawi, 2 Batak, 1 Minahasa, 3
Melayu, 1 orang Indo (Douwes Dekker). Mayoritas di antaranya muslim, sisanya
penganut Katolik dan Kristen, dan 1 ateis (Tan Malaka).
***
Saya sengaja membuka tulisan ini dengan paragraf yang berisi tetek-bengek nomor
urut dan atribusi itu (perempuan, pengarang, pejuang yang angkat senjata,
Sumatera, non-Jawa). Alasannya sederhana: wacana kepahlawan nasional di
Indonesia memang sering kali diimbuhi oleh tetek-bengek atribusi macam itu.
Dan Kartini tepat sebagai contoh pokok persoalan satu ini.
Seperti yang sudah saya sebutkan, ketika belum ada Kartini, Cut Nyak Dien dan
Cut Meuthia, daftar pahlawan nasional Indonesia hanya diisi nama laki-laki. Dan
itulah sebabnya saat itu Sukarno dikritik sekaligus didesak untuk sesegera
mungkin mengangkat perempuan sebagai pahlawan nasional.
Salah satu pihak yang mendesak penetapan Kartini sebagai pahlawan nasional
adalah Gerwani, organ perempuan di lingkungan PKI. Tiga tahun sebelum Kartini
ditetapkan sebagai pahlawan nasional, Gerwani bahkan sudah menerbitkan sebuah
majalah perempuan yang dinamai "Api Kartini".
Pertanyaannya: kenapa harus ada perempuan dalam daftar pahlawan nasional?
Sebagaimana kenapa harus ada Batak dalam daftar tersebut? Memangnya kenapa
kalau tidak ada perempuan atau Batak dalam daftar?
(Ya, Batak juga perlu disebut. Orang Batak pertama yang ditetapkan sebagai
pahlawan nasional adalah Sisingamangaraja XII dengan nomor urut 8. Dia ditetapkan
setelah Sukarno mendengar aspirasi yang mempertanyakan kenapa tidak ada orang
Batak yang jadi pahlawan nasional.)
Itu semua terjadi pada masa Soekarno. Kini, proses serupa nyaris menjadi baku
karena memang prosedur penetapan pahlawan nasional memang seperti itu.
Seseorang bisa ditetapkan sebagai pahlawan nasional setelah melewati berbagai
tahap, salah satunya usulan dari masyarakat. Hampir semua usulan itu akhirnya
datang dari mereka yang merasa diwakili oleh sang-calon pahlawan (baik diwakili
secara kesukuan, kedaerahan maupun tentu saja kekeluargaan).
Di sinilah letak ironinya: penetapan seorang pahlawan nasional, yang mestinya
berporoskan nilai nasionalisme, justru prosesnya sering dimulai oleh perayaan
regionalisme, provinsialisme, etnisitas, atau bahkan — dalam kasus Kartini, Cut
Nyak Dien dan Cut Meuthia — soal jenis kelamin.
Kartini lagi-lagi menjadi persimpangan yang menarik. Dia ditetapkan sebagai
pahlawan nasional setelah ada gugatan segmentatif (“Kenapa tidak ada pahlawan
nasional perempuan?”). Tetapi setelah menjadi pahlawan nasional, dia
dipersoalkan dengan argumentasi yang tidak kalah segmentatif alias membawa-bawa
regionalisme. Kartini orang Jawa, dan kepahlawanannya dipandang sebagai
sebentuk jawanisasi.
Persoalan makin "rumit" karena tidak ada pahlawan nasional lain yang
hari kelahirannya ditetapkan oleh negara sebagai hari khusus. Tidak ada Hari
Cut Nyak Dien atau Hari Christina Tiahahu. Bahkan tidak ada Hari Sukarno, Hari
Hatta apalagi Hari Tan Malaka yang ateis dan komunis.
Apa boleh bikin, Kartini memang sudah telanjur menjadi "kanvas" yang
di berbagai zaman dan oleh berbagai kalangan pernah dan akan terus dicoreti
pelbagai tafsir, kepentingan, sampai gugatan. Pendeknya, Kartini adalah objek.
Dan sebagai objek, Kartini diposisikan dan dipahami secara berbeda, mulai
kalangan etisi (penganut politik etis) di masa kolonial, orang-orang kiri di
masa Demokrasi Terpimpin, para teknokrat-birokrat Orde Baru, sampai para
pengkritik yang mengalasdasari kritik mereka dengan visi desentralisasi seperti
yang terlihat pada masa pasca-reformasi sekarang ini.
Dan Kartini tak bisa melawan coretan-coretan yang dibubuhkan pada riwayat
hidupnya itu. Itulah sebabnya, dalam statusnya sebagai pahlawan, Kartini
sebenarnya mengalami "penderitaan". Kartini, sebagaimana para
pahlawan nasional lainnya, mengalami "penderitaan" dibingkai,
dibakukan sekaligus dibukukan.
Pendeknya, Kartini "dikanonisasi".
Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial (Depsos)
No.281/PS/X/2006, ada beberapa kriteria seseorang untuk bisa ditahbiskan
sebagai pahlawan nasional. Di antaranya: perjuangannya konsisten, mempunyai
semangat nasionalisme dan cinta tanah air yang tinggi, berskala nasional serta
sepanjang hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan sang tokoh
sudah meninggal.
Sepanjang proses itulah para kandidat pahlawan nasional diperiksa, diteliti,
diselidiki: pendeknya dipilih, dipilah, diselidiki "secara klinis"
untuk memastikan tidak ada virus, bakteri, cela dan dosa yang terlalu
signifikan untuk diabaikan.
Tapi itu saja tak cukup. Begitu seseorang ditetapkan sebagai pahlawan, ada
penambahan elemen-elemen yang dianggap bisa memperkokoh kekuatan naratifnya.
Penambahan elemen itu bisa berupa pemilahan dan penyempurnaan foto atau lukisan
si tokoh, mereproduksi serta menyebarkannya melalui banyak medium (terutama
buku pelajaran atau biografi ringkas yang disebarkan ke sekolah), hingga
ritual-ritual yang diulang pada momen penting dalam kehidupan si tokoh yang
relevan untuk ditonjol-unggulkan.
Jika kita cermati gambar wajah para pahlawan nasional, terutama para pahlawan
dari era sebelum dikenalnya fotografi, paras mereka rata-rata tampak
meyakinkan, seakan tak mengandung keraguan. Wajah mereka memancarkan pamor
keagungan. Gambaran auratik adalah bagian dari kanonisasi kepahlawanan nasional
yang direproduksi terus-menerus itu.
Silakan ketik "RA Kartini" di mesin pencari. Anda akan disuguhkan
ribuan foto Kartini yang berdaya auratik itu. Itulah Kartini yang yang telah
dikanonisasi, Kartini semata-mata sebagai objek. Padahal, jika membaca
surat-surat Kartini dengan lebih peka, dengan mudah Anda akan menemukan banyak
keraguan, kebimbangan, kekalahan dan penderitaan. Dan Kartini memang wafat
dalam situasi tragis seperti itu.
Pertanyaannya: masih bisakah memandang Kartini sebagai subjek?
Saya kira itu masih dimungkinkan jika bisa melepaskan selubung kepahlawanan
yang melekat pada dirinya. Selama dibicarakan dalam selubung kepahlawanannya,
selama itu pula Kartini akan terus menjadi objek, bahkan kendati posisi Anda
sedang mengkritiknya sekalipun. Karena, baik membela maupun menggugat
kepahlawanan Kartini sebenarnya berangkat dari posisi yang serupa:
memperlakukan Kartini sebagai objek.
Maka tak ada salahnya saya bilang: Kartini bukanlah pahlawan, dia manusia biasa
saja. Mudah-mudahan ini adalah sikap paling adil yang bisa saya berikan
padanya.
No comments:
Post a Comment