Kartini "Menjadi" Gerwani
Proklamasi kemerdekaan segera diikuti merebaknya
semangat anti-kolonialisme. Segala yang berbau kolonial dipersoalkan dan
ditentang.
Tapi tidak dengan Kartini. Anak emas kaum etisi kolonial ini tidak dihapus
namanya, tapi diambil-alih sekaligus dikukuhkan peranannya dengan lebih jelas
dalam sejarah Indonesia.
Tidak butuh waktu lama proses pengambil-alihan Kartini dari wacana kolonial ke
wacana nasional. Pada Kongres Perempuan Nasional yang digelar 4 bulan setelah
proklamasi, Kartini sudah "gentayangan" dalam pidato-pidato para
peserta. April 1946, belum setahun umur Indonesia merdeka, perayaan Hari
Kartini sudah digelar.
Sejak itu, narasi Kartini di masa pasca-kolonial tak bisa lagi dihentikan.
Ketika itu narasi tentang Kartini hampir sama dengan yang direproduksi di masa
kolonial. Kartini disebut sebagai pejuang hak pendidikan perempuan dan (tentu
saja) emansipasi perempuan. Nyaris tidak ada yang baru.
Modifikasi terhadap narasi Kartini justru dilakukan oleh gerakan kiri di
Indonesia. Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan Gerwis (Gerakan Wanita Sedar)
bertanggungjawab atas pembubuhan elemen anti-feodalisme dan anti-kolonialisme
ini. Dua organisasi yang berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia)
gigih berkampanye mengenai Kartini sebagai perempuan yang bukan hanya
memperjuangkan hak perempuan di bidang pendidikan, tapi juga pejuang anti-feodalisme
dan anti-kolonialisme.
Gerwani perlu dicatat lebih khusus dalam pokok soal ini. Mereka bukan hanya
menerbitkan sebuah majalah khusus perempuan kelas menengah yang dinamai Api
Kartini, tapi bahkan mendaku dirinya sebagai penerus cita-cita Kartini.
Pada 1965, tahun-tahun yang disebut "ibu pertiwi sedang hamil tua"
itu, DPP Gerwani melansir pernyataan di Harian Rakjat: "Gerwani sebagai
penerus tjita-tjita dan jedjak perdjuangan Kartini dan Clara Zetkin jang dalam
meningkatan diri menjesuaikan dengan proses kristalisasi politik dewasa ini,
merupakan gerakan emansipasi jang menghimpun wanita Komunis dan progresif non
Komunis…."
Di situ Kartini disejajarkan dengan Clara Zetkin, perempuan komunis dari Jerman
yang menginisiasi Hari Perempuan Internasional. Lewat Zetkin inilah bisa
dikatakan bahwa Hari Perempuan Internasional pada mulanya berakar pada gerakan
sosialis, bukan gerakan feminis.
Saya pernah melihat sebuah foto di surat kabar De Waarheid (yang terbit di
Amsterdam) edisi 12 Mei 1954 yang menggambarkan suasana kongres Women's
International Democratic Federation (organisasi yang dibentuk di Paris pada
1945). Dalam foto itu terlihat Rie Lips-Odinot (seorang anggota parlemen
Belanda dari Partai Komunis) berpidato tentang kunjungannya ke Indonesia. Di
latar belakang Rie Lips yang sedang berdiri di podium, terlihat potret Kartini
terpasang di sebelah kiri dan Clara Zetkin di kanan.
Pensejajaran Kartini dengan Zetkin inilah yang membuat nama Kartini mencuat ke
dunia internasional --khususnya gerakan kiri-- dan tak lagi menjadi monopoli
orang-orang moderat Belanda yang diwakili kaum etisi yang mengkampanyekan
politik asosiasi (kerjasama antara bumiputera dan Belanda).
Tak heran jika ulasan tentang Kartini banyak dimuat di terbitan-terbitan
organisasi berhaluan kiri. Surat kabar Het Vrije Volk, yang mengklaim sebagai
suara kaum sosialis demokrat, pernah menurunkan potret Kartini yang di bawahnya
tertulis kalimat: "revolutionnaire denkbelden" (ide-ide
revolusioner).
Jika orang-orang kiri di Indonesia mencoba mengambil-alih narasi Kartini dari
genggaman politik kolonial, maka orang-orang kiri di Belanda juga melakukannya.
Proses itu berjalan paralel.
1964 menjadi puncak perayaan Kartini "resmi" menjadi orang kiri. Di
tahun itulah, melalui Kepres RI No 108 Tahun 1964 yang dirilis pada 2 Mei 1964,
Kartini sah menjadi pahlawan nasional.
Tampaknya Keppres itu sudah bocor sebelum secara resmi dirilis. Dua pekan
sebelumnya, para perayaan Hari Kartini, Gerwani dan Gerwis merayakannya secara
besar-besaran, termasuk di kedutaan-kedutaan Indonesia di negara-negara Eropa
Timur. Edisi 25 April 1964 koran Harian Rakyat, yang redaksinya dipimpin oleh Njoto,
memberitakan perayaan Hari Kartini di Moskow, Bukares, Praha dan Kuba.
Cara mudah Untuk memahami argumentasi Kartini sebagai simbol perempuan kiri
adalah dengan menyimak buku "Panggil Aku Kartini Saja" yang ditulis
dengan penuh semangat oleh Pramoedya Ananta Toer, orang yang menjadi
master-mind Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).
Lewat buku yang diterbitkan pada 1962 itu, dia mencoba meyakinkan pembacanya
bahwa narasi Kartini yang disusun oleh Belanda itu terlalu menyederhanakan
Kartini. Mula-mula Pram menggeledah operasi politik etis kolonial terhadap
Kartini, sebagaimana dia membongkar kesengajaan pemerintah praktik membenamkan
nama Tirto Adi Soerjo lewat buku "Sang Pemula" dan tetralogi Pulau
Buru.
Bagi Pram, Kartini dan Tirto sama-sama korban politik kolonial. Jika Kartini
disederhanakan oleh keluarga Abendanon, maka Tirto dibenamkan oleh Dr. Rinkes.
Oleh Abendanon, urai Pram, Kartini hanya ditampilkan sebagai pribadi yang
peduli dengan pendidikan, dan itu pun pendidikan dalam konteks politik etis
kolonial yang mengedepankan gagasan politik asosiasi (kerjasama erat nan mesra
antara rakyat terjajah dan penjajahnya).
Dengan menelusuri surat-surat dan dokumentasi yang bisa didapatkan tentang
Kartini, Pram mencoba menunjukkan bagaimana Putri Jepara ini sudah memiliki
benih-benih nasionalisme. Ditunjukkannya kutipan-kutipan yang menguraikan
pendapat Kartini tentang kesetiakawanan yang melintasi ras, etnis dan agama.
Tentu saja Pram tak lupa mengisahkan bagaimana Kartini melepaskan jatah
beasiswa miliknya dan mengusulkan kepada Abendanon agar memberikannya pada
seorang pemuda Minang yang cerdasnya tak ketulungan: Agus Salim.
Dengan agak tertatih-tatih, Pram menempatkan semuanya itu guna membangun
argumentasi Kartini sebagai prototipe manusia Indonesia yang sudah memeram
spirit anti-kolonialisme dalam pikirannya.
Selanjutnya, kali ini dengan argumentasi yang lebih meyakinkan, Pram
menjlentrehkan pikiran-pikiran Kartini yang mengutarakan semangat
anti-feodalisme. Pram mengutip ucapan Kartini: “Tiada yang lebih gila dan bodoh
daripada melihat orang, yang membanggakan asal keturunannya itu.”
Dan itu tak cuma diucapkan. Ia mempraktekkannya langsung. Ia menolak dipanggil
Raden Ajeng. Ia juga melarang adik-adiknya untuk menyembah dan membungkuk jika
hendak berlalu di depannya, suatu aturan yang sebenarnya menjadi norma yang
pantang dilanggar di rumah Kartini. Tapi toh ia lakukan juga. Kartini juga
tegas mengatakan bahwa adat yang dihayatinya hanya kewajiban menghormat pada
orang tua. Selain dari itu ia kritik habis.
Anti-kolonialisme dan anti-feodalisme adalah dua pokok wacana yang saat itu
sedang ditonjolkan dalam diskursus politik di Indonesia, terutama oleh
orang-orang kiri dan khususnya PKI. "7 setan desa dan 3 setan kota"
adalah mereka-mereka yang dianggap merepresentasikan watak kolonial dan feodal.
Dengan jitu, Pramoedya menggunakan judul "Panggil Aku Kartini Saja".
Judul itu sebenarnya diambil dari ucapan Kartini sendiri (lengkapnya: Panggil
aku Kartini Saja -- itulah namaku). Melalui judul itu, Pram merangkum pandangan
orang-orang kiri terhadap Kartini hanya dalam 4 kata saja.
Melalui parafrase itu, Kartini (di)hadir(kan) sebagai pribadi yang merdeka,
mandiri, muncul sebagai subjek yang lolos dari pelbagai atribusi. Ya, panggil
dia Kartini saja, tanpa embel-embel Raden Ajeng (saat masih gadis) atau Raden
Ayu (saat sudah beristri) atau Nyonya/Mevrouw Djojoadiningrat (Bupati Rembang
yang jadi suaminya), dan mungkin juga tanpa embel-embel pahlawan nasional.
Maka pada masa puncak kejayaan Demokrasi Terpimpin, Kartini pun berhasil
"ke luar" dari dalam rumah, masuk ke area publik, dan menjadi orang
yang dinarasikan sebagai manusia yang sangat sadar politik. Ini paralel dengan
kondisi gerakan dan organisasi perempuan saat itu yang memang sangat melek
politik.
Setelah pembantaian para jenderal di Lubang Buaya, gerakan perempuan mengalami
titik balik. Seiring dengan dihancurkannya PKI dan Gerwani, baik secara politik
maupun fisik, gerakan perempuan pun digelandang paksa untuk kembali mendekam di
dalam rumah. Tidak ada lagi politik, yang ada hanya urusan domestik.
Apakah Kartini lantas dilenyapkan? Sama sekali tidak. Orde Baru ikut-ikutan
mengambil-alih Kartini dan ikut memodifikasi narasi Kartini. Dalam narasi ini,
Kartini "disempitkan" hanya menjadi ibu -- dan lebih spesifik lagi:
ibu yang bersanggul dan berkebaya.
Sejak itulah, menyitir istilahnya Saskia Weiringa, seorang spesialis dalam
sejarah perempuan Indonesia, Kartini tampil sebagai "kuntilanak
wangi" (yang akan saya uraikan dalam artikel berikutnya).
guage:?!
Maka tak ada salahnya saya bilang: Kartini bukanlah pahlawan, dia manusia biasa
saja. Mudah-mudahan ini adalah sikap paling adil yang bisa saya berikan
padanya.
No comments:
Post a Comment