Tuesday 16 July 2013

MAKALAH HAM DAN PEMERINTAHAN YANG BERSIH


MAKALAH CIVILE EDUCATION

HAM & PEMERINTAHAN YANG BERSIH












OLEH :
WA SAWIANA
NO. STAMBUK : 212 113 87



UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KENDARI
TAHUN AJARAN 2012/2013

KATA PENGANTAR

                 Puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas pertolonganNyalah saya dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah “HAM & PEMERITAHAN YANG BERSIH”
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat saya harapkan untuk penyempurnaan makalah ini selanjutnya.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi saya sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.


Raha,     Desember 2012



Penulis


DAFTAR ISI


HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
B.   Identifikasi Masalah
C.   Tujuan Penulisan
D.   Metode
BAB II PERMASALAHAN
BAB III PEMBAHASAN
A.   HAM
B.   PEMERINTAHAN YANG BERSIH
BAB IV PENUTUP
A.   Kesimpulan
B.   Saran
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
Hak asasi manusia disingkat HAM, merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Di Indonesia HAM dijamin dalam UUD 1945 pasal 27 tentang hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan serta kemerdekaan berserikat untuk berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran HAM di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan/tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia HAM di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh HAM di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.
Pada kenyataannya HAM seringkali disalahartikan, dilain sisi digunakan sebagai tameng untuk membela kepentingan perorangan atau kelompok yang merasa dirugikan baik secara moril maupun materil karena telah melakukan pelanggaran Undang-Undang sehingga menyebabkan terjadinya pidana atau perdata, misal pemberlakukan hukuman mati atau hukum cambuk, pelarangan kegiatan beberapa artis yang mempertontonkan aksi yang mengandung unsur pornografi dan pornoaksi. 
Istilah HAM selalu berbenturan dengan hukum yang berlaku di suatu negara, misalnya hukuman mati. Beberapa pemikiran yang menyatakan tidak ada tempat yang cocok untuk bertemunya HAM dengan pemberlakuan hukuman mati. Hal ini disebabkan, pengertian HAM yang ”disalah-salahkan” untuk melindungi kepentingan seseorang atau kelompok, misalnya pada kasus hukuman mati yang dijatuhkan pada Tibo Cs, atas nama HAM mereka merasa tidak pantas untuk dihukum mati, malah kelompoknya sampai mengadukan kasus tersebut ke Pengadilan Internasional. Padahal mereka sendirilah yang telah melakukan pelanggaran HAM di Poso. Di saat membunuh dan membantai Tibo Cs tidak merasa HAM juga milik para korban, tapi pada saat hukum ditegakkan merekalah yang berteriak keras atas nama HAM.
Dalam makalah ini penulis tidak membahas hubungan antara HAM dan hukuman mati, penulis akan mengangkat terjadinya beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pemerintahan masa lalu.
Pada masa pemerintahan orde baru kerap terjadi pelanggaran hak azasi manusia dengan dalih perbuatan subversif, pemberontak atau percobaan merubah Pancasila. Hal ini mereka lakukan untuk melindungi kepentingan mereka dalam berkuasa di pemerintahan. Kegiatan atau pernyataan dari kelompok tertentu yang nyata-nyata membahayakan kekuasaan orde baru dianggap sebagai pemberontak. Lalu dengan alasan membela negara, para elit tertentu memberikan perintah untuk melakukan penumpasan atau pemusnahan massal. Pembantaian, pembunuhan dan pelarangan selalu didengung-dengunkan dengan memanfaatkan media massa namun dipublikasikan dengan pemutarbalikkan fakta.  Hukum milik penguasa dan mereka yang menentang layak dieksekusi tanpa melalui proses hukum yang berlaku di Indonesia. Hukum ibarat jaring laba-laba, menjerat yang lemah dan tak berarti bagi yang kuat.
Pemerintah orde baru menggunakan kekuasaannya untuk melindungi kekuasaannya juga. Banyak kasus pelanggaran HAM yang hingga sekarangpun tidak jelas bagaimana akhirnya. Semua kasus seperti misteri yang dirangkum dalam kisah The X-Files. Belum ada pemimpin pemerintahan setelah orde baru yang mau mengungkap kembali kasus HAM berat. Apakah mereka juga terlibat atau malah demi melindungi teman sendiri. Padahal Undang-undang pelanggaran HAM dan pengadilan HAM telah diterbitkan, segala macam komisi HAM telah dibentuk namun belum juga ada satupun aktor intelektual yang berhasil diseret ke pengadilan. Mungkin UU HAM dibentuk untuk sekedar menenangkan rakyat atau hanya untuk membuat fakta menjadi cerita misteri dalam karangan fiksi. Penulis berharap pemerintah tidak hanya sibuk urusi hukuman ringan bagi siapa saja yang menjadi koruptor namun keadilan dalam HAM juga harus ditegakkan.

B.       Identifikasi Masalah
Berawal dari latar belakang tersebut, penyusun mencoba menyampaikan permasalahan Hak Azasi Manusia (HAM) dan pelanggarannya.

C.       Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Civile Education.

D.       Metode
Metode yang penyusun gunakan dalam makalah ini adalah metode pustaka, yaitu penyusun menggali bahan-bahan dari buku dan media internet.


BAB II
PERMASALAHAN

Pada makalah ini, penulis akan mengemukakan bebarapa contoh permasalahan tentang pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia pada masa berkuasanya Pemerintahan Orde Baru. Kasus ini merupakan kasus lama yang hampir terlupakan dan tidak jelas bagaimana ujung penyelesaiannya. Dengan mengangkat pokok pembahasan ini, kami berharap dapat menyingkap kembali misteri apa sebenarnya yang terjadi sehingga menyebabkan adanya pelanggaran HAM berat. Adapun kasus tersebut adalah :
1.    Tragedi Talang Sari
Sebagaimana diketahui, dua puluh tahun lalu, tepatnya 7 Februari 1989, lebih dari sekitar satu batalyon aparat keamanan menyerbu perkampungan Cihideung, Talangsari, Lampung. Penyerbuan aparat keamanan di subuh hari, yang dilengkapi dengan senjata laras panjang, bahan peledak seperti granat dan dua buah helikopter itu, mengakibatkan warga Cihideung, Talangsari dan sekitar perkampungan tidak dapat menyelamatkan diri.
Lantaran terdesak pasukan Garuda Hitam pimpinan Kolonel Hendropriyono, warga membentengi diri dengan senjata seadanya. Meski demikian, usaha perlawanan itu tidak berarti. Akibat serangan membabi-buta aparat tersebut, ratusan warga sipil yang kebanyakan perempuan dan anak-anak menemui maut, luka-luka dan hilang.
2.    Tragedi Tanjung Priok
Mungkin sudah usang dalam ingatan kita peristiwa berdarah di Tanjung Priok yang melibatkan petinggi militer saat itu Mayjen TNI Try Soetrisno, Pangdam V Jaya, yang kemudian diangkat menjadi wakil Presiden RI era orde baru berdampingan dengan Soeharto, kasus ini menjadi tanda tanya besar kesalahan apa sebenarnya yang terjadi. Peristiwa ini merenggut puluhan korban meninggal akibat gempuran senjata otomatis militer.

BAB III
PEMBAHASAN

A.   HAM
Peristiwa Talang Sari tidak bisa dilihat sebagai kasus kejahatan biasa (ordinary crime), tapi merupakan kejahatan luar biasa yang termasuk dalam kategori pelanggaran berat hak asasi manusia (gross violation of human rights) sesuai UU 26 / 2000 tentang Pengadilan HAM. Temuan tentang adanya dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat hanya dapat dilakukan oleh Komnas HAM pada fungsi Komnas sebagai lembaga penyelidik dengan membentuk KPP HAM. Kekerasan militer yang terjadi dalam peristiwa Talangsari merupakan tindakan eksesif yang dilakukan sebagai kelanjutan dari kebijakan-kebijakan pemerintahan Suharto. Kebijakan tersebut amat terlihat sebelum terjadinya penyerbuan aparat militer (ABRI) terhadap warga sipil di wilayah perkampungan Talangsari. Lebih jauh, peristiwa ini diikuti dengan pernyataan pembenaran, penangkapan, penyiksaan, penahanan dan pengadilan terhadap korban dan masyarakat yang dianggap terkait dengan kasus tersebut.
Tuntutan para Jaksa terhadap seluruh korban umumnya adalah tuduhan makar ingin mengganti Pancasila dengan Al-Qur’an dan Hadits dengan menggunakan UU No.11/PNPS/1963 (UU Subversiv) terhadap seluruh korban peristiwa Lampung yang berada di Lampung, Jakarta, Bandung, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Tuntutan ini, patut diduga berkaitan dengan pernyataan Menkopolkam Soedomo di harian Pelita sepekan setelah peristiwa lampung terjadi 14 Februari 2001, bahwa “Pelaku Kasus Lampung Subversif”. Peristiwa Talang Sari terjadi akibat kecurigaan pemerintah terhadap Islam dan kritik keras serta penolakan masyarakat terhadap kebijakan soal asas tunggal Pancasila yang dihadapi oleh aparat dengan pembantaian.
Sepantasnya otak pembantaian ditangkap dan dijatuhi hukuman mati sesuai UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan KUHP tentang pembunuhan berencana, pemusnahan dan menghilangkan nyawa manusia dengan sengaja. Pengaruh sisa-sisa kekuasan orde baru masih sangat kuat hingga masa pemerintahan sekarang. Sehingga sangat sulit menjerat pelakunya, malahan aktor utamanya dipercayakan menjadi salah satu pejabat negara yaitu Letjend Hendropriyono, Kepala BIN beberapa tahun yang lalu, dan dengan kekuasaannya ia diduga merancang skenario pembunuhan aktivis HAM Munir yang berusaha mengungkap kebusukan militer masa pemerintahan rezim Soeharto termasuk kasus Talang Sari. Siapakah Munir? Dialah aktivis HAM yang tidak pernah takut dan gentar untuk membela yang benar, segudang informasi pelanggaran HAM ada di memori otaknya. Tidak  peduli apapun pangkat dan jabatannya, yang salah harus bertanggungjawab. Kematiannya tidak menyurutkan semangat Munir-Munir yang lain untuk menyingkirkan kebusukan di muka bumi pertiwi ini.
Tak jauh beda dengan Kasus Talang Sari, tragedi Tanjung Priok juga menyisakan duka yang sangat mendalam hingga sekarang, tidak hanya oleh keluarga para korban namun seluruh umat Islam yang ada di negara ini. Berbagai alasan atas nama UU dan Pancasila digelontorkan oleh para pelaku untuk melakukan pembantaian di Tanjung Priok. Sikap paranoid rezim Soeharto yang berlebihan dan takut kehilangan kekuasaannya mendoktrin antek-anteknya untuk menyingkirkan siapa saja yang coba-coba mengusik telinganya. Jangankan bertindak, bersuara sajapun akan dibasmi.
Tumbangnya Soeharto dari kursi kekuasaan pada bulan Mei l998 membuka peluang lebih lebar bagi perbaikan kondisi hak asasi manusia di Indonesia. Pemerintahan transisi di bawah kepemimpinan Presiden BJ. Habibie nampaknya menjanjikan bagi perbaikan kondisi hak asasi manusia. Langkah perbaikan itu antara lain, dimulai dengan pelepasan para tahanan politik, pembuatan Undang-undang Hak Asasi Manusia, reformasi UU Politik dan Pemilu, dan lain sebagainya. Pada masa ini para korban pelanggaran HAM Pemerintah Soeharto, termasuk para korban Priok menuntut keadilan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) tak terelakkan wajib menanggapi secara positif tuntutan masyarakat. Dalam upaya untuk menegakkan keadilan bagi para korban Priok, dan tentunya bagi masyarakat Indonesia yang cinta keadilan. KOMNAS HAM membentuk Team Ad Hoc (atau lebih dikenal dengan KPP) penyelidik Pro Justisia kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok. Hasil penyelidikan KPP kasus Tanjung Priok ini menyimpulkan, bahwa pada peristiwa berdarah di Tanjung Priok pada tahun l984 itu memenuhi unsur-unsur tindak pidana pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan. Hasil penyelidikan KOMNAS HAM tersebut kemudian diserahkan kepada Jaksa Agung untuk ditindak-lanjuti dengan penyidikan dan penuntutan.
KPP kasus Tanjung Priok berhasil mengidentifikasi 33 (tiga puluh tiga) orang pejabat, termasuk militer yang diduga bertanggungjawab berkenaan dengan tragedi berdarah di Tanjung Priok. Di antara yang diduga bertanggungjawab itu adalah, Jenderal LB Moerdani, dan Jenderal Try Soetrisno. Hampir tiga tahun berkas hasil penyelidikan KOMNAS HAM itu ngendon di kantor Jaksa Agung. Dalam pada itu DPR sudah mengusulkan kepada Presiden untuk membentuk pengadilan ad hoc HAM kasus Tanjung Priok. Dalam kurun waktu hampir tiga tahun itu berbagai peristiwa terjadi. Jaksa Agung terus-menerus disorot dan di demo oleh para korban dan masyarakat luas untuk segera menyelesaikan tugas penyidikannya dan segera menyerahkan berkas perkara ke pengadilan Ham Ad hoc. Di tengah tuntutan untuk menggelar pengadilan ham ad hoc itu terjadi Islah antara Jenderal Try Soetrisno dengan sebagian korban pelanggaran Ham Tanjung Priok. Jelas Islah tersebut merupakan sebuah tindakan di luar proses hukum. Karena itu tidak bisa dijadikan dasar untuk menunda apalagi meniadakan proses pengadilan Ham Ad Hoc Tanjung Priok. Akhirnya pihak Kejaksaan Agung harus memenuhi desakan dan tuntutan masyarakat, yaitu menggelar pengadilan Ham Ad Hoc Tanjung Priok.
Dari 33 mantan aparat militer Orde Baru yang oleh KOMNASHAM diduga bertanggungjawab berkenaan dengan tragedi Tanjung Priok, hanya 14 ( empat belas ) orang oleh Jaksa Agung ditetapkan sebagai tersangka. Umumnya para tersangka itu adalah para pelaku di lapangan yang pada saat peristiwa itu terjadi masih berpangkat rendah atau perwira menengah. Jaksa Agung tidak memberikan penjelasan yang memadai mengapa pihaknya hanya menetapkan 14 tersangka dari 33 orang yang diduga KOMNAS HAM harus bertanggungjawab dalam peristiwa berdarah di Tanjung Priok. Berkenaan dengan itu pimpinan KOMNAS HAM melayangkan surat pada Jaksa Agung menanyakan apakah masih ada tersangka yang lain ? Jaksa Agung hanya menjawab tidak ada. Hal ini menunjukkan sikap tertutup dan tidak akuntabel Jaksa Agung terhadap masyarakat. Padahal dalam era reformasi negara hukum Indonesia Jaksa Agung sebagai institusi negara dituntut untuk bersikap transparan dan akuntabel kepada masyarakat (publik). Apa lagi tragedi Priok merupakan peristiwa kejahatan kemanusiaan yang memperoleh perhatian baik dari masyarakat domestik maupun internasional. Karena itu sangat bisa difahami bila masyarakat luas, khususnya para korban Priok meragukan kredibilitas Jasksa Agung dalam menangani perkara ini. Bahkan terbentuk persepsi umum, bahwa dalam kasus Priok itu Jaksa Agung menjalankan kebijakan impunity, yang berarti berpihak pada kepentingan pelaku pelanggaran HAM.
Pengadilan Ham Ad Hoc Priok memeriksa dan mengadili para pelaku lapangan yang berpangkat rendah. Sementara mereka yang berpangkat tinggi dan diduga banyak mengetahui sisi kebijakan yang menimbulkan tragedi itu tetap tidak tersentuh. Dari sejak penyidikan dan penuntutan proses peradilan Priok berjalan tersendat-sendat, terutama karena kinerja Jaksa Agung. Ini tentu bukan semata-mata masalah tekhnis hukum. Tapi karena faktor politik, yaitu tidak adanya komitmen yang sungguh-sungguh dari Pemerintah, DPR sebagai komunitas perwakilan rakyat, dan tak sulit untuk dibantah tekanan tentara. Hal itu dapat menjelaskan mengapa jalannya pengadilan Ham Ad Hoc Priok masih jauh dari standar Internasional, yaitu imparsial, fair, obyektif, dan transparan, serta bebas dari pengaruh politik.
Hingga sekarang kasus Tanjung Priok masih merupakan tragedi yang masih menyisakan misteri. Orang yang seharusnya bertanggungjawab masih saja menghirup udara bebas tanpa pernah berpikir bagaimana bau anyir darah manusia tak bersalah yang dibantai dengan kebijakannya. Harusnya TNI menempa prajurit-prajurit yang setia, pemberani dan berjiwa ksatria. Tapi kenapa yang keluar sosok Jenderal yang pengecut,  berusaha bersembunyi dibalik kekuasaan adik juniornya yang menjadi pemimpin sekarang. Rasa kesetiakawanan untuk melindungi teman walaupun salah mungkin sudah di doktrin sejak awal di dalam tubuh TNI.

B.   PEMERINTAHAN YANG BERSIH
Peran pemerintah sangat besar dan mencangkup seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Meskipun pemerintah memiliki berbagai sumber daya untuk menunaikan kewajibannya, tetap saja tuntutan masyarakat selalu lebih tinggi tuntutannya dibanding dengan kemampuan pemerintah untuk memenuhinya.
Adanya kesenjangan antara tuntutan dengan kemampuan pemerintah inilah yang pada gilirannya menyebabkan munculnya berbagai gagasan untuk memberi energi baru kepada pemerintah. Barzelay (1992), misalnya memandang bahwa ditengah-tengah fenomena perubahan dunia, birokrasi membutuhkan inovasi baru yang bersifat strategis. Demikian pula Osborne (1996) mengemukakan lima strategis sebagai instrumen implementasi lebih lanjut dari prinsip Reinventing Government yang diajukan Osborne dan Gaebler, yaitu (1) creating clarity of purpose, (2) creating consequences form performance, (3) putting the custumer in the driver’s seat, (4) shifting control away from the top and the center, (5) creating entrepreneural culture.
Pada intinya pandangan baru yang berkembang tentang peran pemerintah adalah bahwa pemerintah harus mampu menciptakan nilai-nilai baru (value creating) dalam rangka meningkat pelayanan kepada masyarakat.
Istilah governance secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu kegiatan pengarahan, pembinaan atau dalam bahasa inggrisnya adalah Guiding. Gevernance adalah suatu proses dimana suatu sistem sosial ekonomi atau sistem organisasi yang kompleks lainnya dikendalikan. Pinto dalam (Karhi: 1997) mendefinisikan Governance sebagai ’’ praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum, dan pembangunan ekonomi pada khususnya’’. Pengertian governance dalam hal ini adalah proses pengaturan, pembinaan dan pengendalian kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Secara bebas good governance dapat diterjemahkan menjadi pemerintahan yang bersih dan berwibawa atau pemerintahan yang amanah. Secara umum governance mengandung unsur-unsur utama yang terdiri dari: (1) akuntability, (2) transparansi, (3) openness, (4) rule of law (Bhatta: 1996) dalam (Karhi: 1997). 
Akuntabilitas adalah kewajiban bagi aparatur pemerintahan untuk bertindak selaku penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijaksanaan yang ditetapkannya. Unsur ini merupakan inti dari pemerintahan yang baik (good governance) Akuntabilitas aparatur pemerintah terdiri dari tiga jenis yaitu akuntabilitas politik, akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas hukum (Brautigam, 1991). Sedangkan menurut LAN (1998) akuntabilitas pemerintah di bagi atas Akuntabilitas manajerial, akuntabilitas keuangan, dan akuntabilitas operasional.
Akuntabilitas politik berkaitan dengan pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat berkaitan dengan mekanisme sistem pemilu dan mekanisme ceck and blances kekuasaan yang ada pada masyarakat. Akuntabilitas keuangan yaitu kewajiban aparat mempertanggungjawabkan penggunaan keuangan negara kepada rakyat. Sedangkan akuntabilitas hukum berkaitan dengan semua unit-unit pemerintahan dapat bertanggung jawab secara hukum atas segala tindakannya, termasuk organisasi pemerintahan yang pada prakteknya telah merugikan kepentingan rakyat harus mampu mempertanggungjawabkan dan menerima tuntutan hukum atas tindakannya.
Transparansi merupakan instrumen penting untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Rakyat harus mengetahui secara terbuka atas segala proses perumusan kebijaksanaan publik dan implementasinya. Dengan demikian segala tindakan dan kebijaksanaan pemerintah harus dilaksanakan secara terbuka dan diketahui umum. Seiring dengan hal tersebut, pemerintah pula harus terbuka dan memberikan kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan kritikan dan tanggapan terhadap pemerintah yang dinilai tidak transparan. Pemerintah yang baik dan terbuka akan memberikan informasi dan data yang memadai bagi masyarakat sebagai bahan untuk melakukan penilaian atas jalannya pemerintahan.
Sementara itu menurut Toha (1997) pemerintahan yang bersih dan berwibawa sangat tergantung pada : (1) pelaku-pelaku pemerintah (kualitas sumber daya manusia aparaturnya), (2) kelembagaan yang dipergunakan untuk pelaku-pelaku pemerintahan untuk mengaktualisasikan kinerjanya, (3) perimbangan kekuasaan yang mencerminkan seberapa jauh sistem pemerintah itu harus diberlakukan, dan (4) kepemimpinan dalam birokrasi publik.
Senada dengan hal tersebut Rasyid (1997) bahwa pembangunan pemerintahan diarahkan pada dimensi administrasi, yaitu administrasi yang baik, organisasi yang efisien, serta aparatur yang berkompeten dan jujur. Kultur administrasi yang melayani, memberdayakan dan membangun berlandaskan semangat entrepreneurship perlu dibina secara berkesinambungan. Berkaitan dengan itu peranan motivasi dan efisien mekanisme dan prosedur kerja birokrasi terutama dalam proses pelayanan dan pengambilan keputusan harus lebih disederhanakan.
Determinan utama untuk menciptakan pemerintahan yang berwibawa adalah kualitas sumber daya manusia aparatur yang berkualitas. Hal ini penting karena SDM aparatus dapat berfungsi sebagai perencana, implementasi, pengendali dan evaluasi seluruh program-program pembangunan. Oleh karena itu, hal penting yang harus diperhatikan adalah aparatur harus (1) bermoral dan berakhlak yang tinggi yang ditandai oleh kebersihan akidah, kebersihan akhlak, kebersihan tujuan hidup, bersih harta dan bersih pergaulan sosial; (2) berpengetahuan dan berkemampuan untuk melaksanakan tugas yang diembannya secara profesional.
Aspek kelembagaan pemerintah ke depan akan berubah sesuai dengan perubahan peran pemerintah yaitu dari ”rowing” kearah steering. Oleh karena itu desain kelembagaan pemerintah harus disesuaikan dengan platform more steering the rowing, yaitu organisasi yang bersifat flat, efisien, fleksibel, matrikial, kaya fungsi, miskin struktur dan yang lebih penting lagi adalah organisasi yang dapat menumbuhkan semangat pemberdayaan masyarakat.
Perimbangan kekuasaan menandaskan adanya mekanisme check and balances antara beberapa pemegang kekuasaan, baik kekuasaan yang ada di birokrasi maupun kekuasaan yang ada di masyarakat. Faktor kepemimpinan birokrasi terutama mensyaratkan akhlak mulya, bersih dan tidak cacat moral. Hal ini penting dipenuhi karena faktor kepemimpinan sangat menentukan dalam memberikan pelayanan yang adil, transparan, terbuka dan tidak berpihak kepada kepentingan individu atau golongan. Syarat intelektualitas dan wawasan kepemimpinan mengharuskan pemimpin birokrasi memiliki visi yang jauh kedepan, demokratis, responsif, mendahulukan kepentingan umum dan kemampuan menggunakan sumber daya organisasi untuk mecapai tujuan yang diinginkan.


BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A.   Kesimpulan
Negara Indonesia telah menjamin HAM di dalam UUD 1945 pasal 27, ini berarti setiap warga negara siapapun orangnya, berpangkat, berharta tidak ada bedanya di mata hukum. Setiap orang di dalam lingkup negara kesatuan Republik Indonesia berhak dilindungi, mendapat pengayoman, bersuara secara lisan dan tulisan karena memang menjadi hak dasar manusia itu sendiri, bagi siapa yang melanggar HAM harus ditindak karena negara ini juga mengatur perlindungan HAM. Tragedi Talang Sari dan Tanjung Priok merupakan contoh kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan aparat militer waktu itu dengan dalih ingin merubah dasar negara (subversif). Namun penanganannya masih saja mendapat halangan yang cukup berat sehingga menjadi misteri yang tak terungkap oleh hukum. Ini menandakan demokrasi di Indonesia masih belum berjalan maksimal walaupun dari segi hukum dalam kategori tertentu kita sudah selangkah lebih maju. Untuk itu, diperlukan komitmen yang kuat antara masyarakat, Pemerintah sebagai eksekutif dan lembaga terkait untuk kembali membersihkan sisa-sisa yang mengotori demokrasi di Indonesia. Yang bersalah harus bertanggungjawab tanpa harus memandang kawan atau saudara sendiri.

B.   Saran
Pemilu sebagai simbol demokrasi di Indonesia baru saja dilaksanakan pada 9 April lalu. Rakyat yang menentukan sendiri wakilnya untuk ikut bersuara mengatur negara ini. Mudah-mudahan para caleg yang terpilih adalah benar-benar manusia terpilih yang berjuang demi rakyat, untuk rakyat dan atas nama rakyat. Selayaknya para manusia terpilih ini nantinya ikut bersama-sama menegakkan perjuangan rakyat demi supremasi hukum yang seadil-adilnya. Di masa Pemerintahan ini dan akan datang, penulis berharap Pemerintah tidak hanya fokus menegakkan hukum bagi para koruptor tapi juga harus menaruh perhatian yang penuh bagi para pelanggar HAM tanpa memandang bulu, walaupun teman dekat atau Calon Presiden sekalipun.



DAFTAR PUSTAKA



Buku Tanjung Priok Berdarah, Tanggungjawab Siapa: Kumpulan Fakta dan Data, Yogyakarta: Gema Insani Press.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

( http://organisasi.org) di download tanggal 20 April 2009, pukul 14.15 Wib.



No comments: