Monday 22 July 2013

MAKALAH HUBUNGAN THAHARAH DENGAN SHALAT DAN HUBUNGAN SHALAT DENGAN PUASA




Makalah AGAMA ISLAM II


“HUBUNGAN THAHARAH DENGAN SHALAT
&
HUBUNGAN SHALAT DAN PUASA”



 




OLEH :

LA  ODE  ALI  AMRAN
NIM. 212 102 38





UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KENDARI
2 0 1 3



KATA PENGANTAR


Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita, sehingga penyusun masih diberi kemampuan untuk dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya dan para sahabatnya serta kepada umatnya sampai akhir zaman.
Penulisan makalah ini guna untuk memenuhi tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Agama Islam II. Penulisan Makalah ini juga dibuat guna meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang Hubungan Keterkaitan Thaharah, Shalat dan Puasa. Adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagi penyusun, apabila makalah ini dapat memberikan manfaat kepada mahasiswa dan mahasiswi lainnya. Penyusun menyadari bahwa pembuatan makalah ini mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, petunjuk dan bantuan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan makalah ini, sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Untuk itu kami mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya serta berharap semoga Allah SWT memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, AmiinYaaRobbal ‘Alamiin.


Raha,    Juli 2013



Penyusun



DAFTAR ISI


HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
B.   Permasalahan
C.   Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A.   Pengertian Thaharah, Shalat, Puasa
B.   Hubungan Thaharah dengan Shalat
C.   Hubungan Shalat dengan Puasa
BAB III PENUTUP
A.   Kesimpulan
B.   Saran
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN


A.   Latar Belakang
Ibadah adalah hal yang paling urgent bagi umat manusia karena tujuan hidup manusia untuk ibadah sehingga semua tingkah laku yang kita kerjakan harus bernilai ibadah atau setiap tingkah laku punya tata cara atau adab-adab tertentu baik sosialisasi sesama manusia secara khususnya dan umumnya untuk Allah SWT. Adapula ibadah yang diwajibkan bagi umat manusia yang tercantum dalam rukun islam yang mempunyai syarat tertentu seperti sebelum melakukan shalat kita harus bersuci terlebih dahulu yang merupakan syarat syah shalat setelah itu kita bisa melanjutkan ke rukun kedua yaitu puasa, zakat dan haji yang saling berhubungan satu sama lain.

B.   Rumusan Masalah
• Apa yang di maksud dengan Thaharah, Shalat dan Puasa?
• Apa yang hubungan Thaharah dengan Shalat?
• Apa yang Hubungan Shalat dengan Puasa?

C.   Tujuan Penulisan
       Makalah ini ditulis dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Agama Islam II.
BAB I
PEMBAHASAN


A.   Pengertian Thaharah, Shalat dan Puasa
Thaharah secara bahasa berarti nazhafah (kebersihan) atau bersih dari kotoran baik yang bersifat nyata seperti najis maupun yang bersifat maknawiyah seperti aib.
Adapun secara syar’I thaharah adalah menghilangkan hal-hal yang dapat menghalangi kotoran berupa hadast atau najis dengan menggunakan air dan sebagainya sedangkan untuk mengangkat najis harus dengan tanah.

Shalat secara etimologi kata shalat berasal dari bahasa arab yang berarti do’a. secara terminologi shalat adalah yang terdiri atas beberapa ucapan dan perbuatan, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam sesuai dengan syarat dan rukun-rukun yang telah ditetapkan.

Puasa menurut bahasa berarti imsak atau menahan, sedangkan puasa menurut syariat ialah menahan dengan niat ibadah dari makanan, minuman, hubungan suami istri dan semua hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar hingga terbenam matahari.

B.   Hubungan Thaharah dengan Shalat
Sholat merupakan tradisi yang diwariskan semua Nabi dan Rasul sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Tradisi sholat yang ada dan berlaku didunia Islam dewasa ini pada dasarnya dipercaya merupakan sebuah tradisi yang pernah ada dijaman Nabi yang diajarkan dari generasi kegenerasi. Sejauh mana keakuratan tradisi ini bisa mengacu juga pada catatan-catatan yang ada dari para perawi hadis
Sebelum memulai sholat, sudah menjadi kesepakatan semua umat Islam untuk melakukan thaharah atau bersuci, yaitu dengan cara berwudhu. Praktek ini diperkuat dengan adanya perintah tertulis mengenainya didalam al-Qur’an.
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#r㍣g©Û$$sù 4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóøn<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# 9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ÷ƒr&ur çm÷YÏiB 4 $tB ߃̍ムª!$# Ÿ@yèôfuŠÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ߃̍ムöNä.tÎdgsÜãŠÏ9 §NÏGãŠÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 šcrãä3ô±n@ ÇÏÈ  

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki (Qs. 5 al-Maaidah: 6)
Dalam tradisi yang ada, teknis perintah berwudhu yang terdapat pada ayat di atas mengalami perkembangan, yaitu dengan adanya penambahan mencuci kedua tangan sebelum membasuh muka, lalu berkumur, menghisap air hidung, membasuh telinga hingga mencuci janggut. Meskipun demikian tidak bisa pula diartikan bahwa penambahan ini menyalahi ketentuan Allah didalam al-Qur’an. Kita bisa membaca dalam kitab-kitab hadis terkemuka bahwa penambahan yang terjadi ini dilakukan oleh Nabi sebagai sunnah beliau untuk lebih membersihkan diri, apalagi bila kita ingat di masa itu tanah Arabia sebagian besar terdiri dari bukit-bukit dan padang pasirnya sehingga debu dan kotoran cenderung lebih banyak melekat.
Dari Usman bin Affan, bahwa ia pernah meminta bejana, lalu ia menuangkannya keatas kedua telapak tanganya kemudian membasuhnya, lalu memasukkan yang sebelah kanan di dalam bejana, kemudian berkumur dan mengisap air hidung, kemudian membasuh mukanya tiga kali dan kedua tangan sampai siku-siku tiga kali, kemudian mengusap kepalanya, lalu membasuh kedua kakinya tiga kali sampai kedua mata kakinya. Kemudian berkata : ‘Aku melihat Rasulullah Saw berwudhu seperti wudhuku ini. – Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim
Dari Ali r.a, bahwa ia meminta air wudhu, kemudia ia berkumur dan mengisap air hidung dan menyemburkan air hidung dengan tangan kirinya, maka ia berbuat ini tiga kali kemudian berkata : ‘Inilah bersucinya Nabi Saw.’ – Riwayat Ahmad dan Nasa’i
Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw mengusap kepalanya dan dua telinganya, luar dan dalamnya. – Riwayat Tirmidzi
Dari anas, bahwa Nabi Saw apabila berwudhu maka mengambil seciduk air kemudian memasukkannya dibawah cetaknya lalu ia menyela-nyela jenggotnya dan bersabda : ‘Demikianlah Tuhanku memerintahkanku.’ – Riwayat Abu Daud
Karena sifatnya hanya sunnah, maka berpulang kepada diri kita saja berdasarkan situasi dan kondisi, apakah ingin berwudhu secara sederhana dan mudah yaitu dengan mengikuti ketentuan al-Qur’an atau dengan mencontoh sunnah Nabi-Nya. Tidak ada yang perlu dipertentangkan secara khusus mengenai berwudhu ini, sama misalnya disebutkan didalam Hadis, bahwa seandainya saja bersiwak atau menggosok gigi tidak akan memberatkan umatnya pasti akan disunnahkan oleh Nabi pula untuk melakukannya sebelum kita melakukan sholat.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw : Beliau bersabda : seandainya aku tidak khawatir akan memberatkan orang-orang beriman (dalam hadis riwayat Zuhair, disebut umatku), niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali akan sholat. – Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik dan Al-Darami
Berwudhu bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan air dan menggunakan tanah atau debu yang sudah dibersihkan. Adapun cara kedua tersebut dilakukan hanya apabila tidak dijumpainya air yang bersih atau karena sakit yang mengakibatkannya tidak dapat bersentuhan dengan air.
bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3ƒÏ÷ƒr&ur 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #qàÿtã #·qàÿxî ÇÍÌÈ  
Dan jika kamu sakit atau habis buang air atau kamu selesai bersetubuh sedang kamu tidak mendapat air maka hendaklah kamu cari debu yang bersih, lalu hendaklah kamu sapu muka kamu dan tangan kamu karena sungguh Allah itu sangat memudahkan dan Maha mengampuni. (Qs. 4 an-Nisaa’ 43)
Usai melakukan wudhu, berdirilah tegak menghadap kiblat (arah masjid al-Haram) lalu mulailah bertakbir, yaitu mengucapkan Allahu Akbar (Allah Maha Besar).

Kenapa kita harus sholat ?
Sampai saat ini masih ada sebagian dari umat Islam menganggap sholat hanya semata-mata sebagai suatu ritualitas dalam agama yang amalnya akan bermanfaat kelak dihari kiamat selaku penolong dalam menghadapi siksaan Allah. Padahal pendapat yang demikian ini tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, sebab manusia ini memiliki dua kehidupan yang seimbang; yaitu kehidupan masa sekarang atau alam duniawi dan kehidupan masa yang akan datang atau alam akhirat.
Tuhan tidak akan memberikan sesuatu yang sifatnya tidak seimbang, karena itu juga perintah Sholat tidak hanya berfungsi dimasa depan semata namun sebaliknya memiliki kegunaan yang vital bagi manusia dalam menjalani hari-hari kehidupannya dimasa kehidupan yang sekarang.
( žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍s3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çŽt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ  

Sesungguhnya, sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. (Qs. 29 al-ankabut : 45)
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, didalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling tarik-menarik sehingga menjadikan jiwa condong kesalah satu diantaranya. Unsur tersebut adalah nilai-nilai positif (unsur malaikat) dan nilai-nilai negatif (unsur setan).
÷bÎ) óOçFY|¡ômr& óOçFY|¡ômr& ö/ä3Å¡àÿRL{ ( ÷bÎ)ur öNè?ù'yr& $ygn=sù 4 #sŒÎ*sù uä!%y` ßôãur ÍotÅzFy$# (#qä«ÿ½Ý¡uŠÏ9 öNà6ydqã_ãr (#qè=äzôuÏ9ur yÉfó¡yJø9$# $yJŸ2 çnqè=yzyŠ tA¨rr& ;o§tB (#rçŽÉi9tFãŠÏ9ur $tB (#öqn=tã #·ŽÎ6÷Ks? ÇÐÈ  

Jika kamu berbuat baik, maka kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka itu juga untuk dirimu sendiri (Qs. 17 al-israa’ : 7)
Ritualitas sholat dinyatakan didalam al-Qur’an pada ayat tersebut sebagai suatu sarana atau wadah untuk mengontrol perbuatan negatif yang seringkali mendominasi diri manusia. Dengan terjalinnya komunikasi yang baik dengan Tuhan secara vertikal maka diharapkan secara horisontalpun manusia mampu berbuat baik kepada sesamanya bahkan lebih jauh kepada semua hamba Tuhan diluar dirinya.
Namun fakta di lapangan juga membuktikan bahwa banyak orang Islam yang rajin melakukan sholat namun kelakuan dan sifatnya justru tidak sesuai dengan kehendak Tuhan yang ada pada surah al-Ankabut ayat 45 tadi, betapa banyak orang yang kelihatannya rajin sholat namun tetap bergunjing, melakukan zinah, pelecehan seksual, bahkan bila dia seorang penguasa yang memiliki jabatan akan memanfaatkannya untuk menganiaya orang lain, melakukan penindasan, korupsi bahkan sampai pada pembunuhan dan peperangan. Inilah contoh manusia yang telah lalai dalam sholat mereka.
×@÷ƒuqsù šú,Íj#|ÁßJù=Ïj9 ÇÍÈ   tûïÏ%©!$# öNèd `tã öNÍkÍEŸx|¹ tbqèd$y ÇÎÈ  
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat. Yaitu orang-orang yang melalaikan sholatnya (Qs. 107 al-maa’uun : 4-5)
Bila sudah seperti ini, maka kita patut memperhatikan firman Allah yang lain :
ö@è% zsDr& În1u ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( (#qßJŠÏ%r&ur öNä3ydqã_ãr yZÏã Èe@à2 7Éfó¡tB çnqãã÷Š$#ur šúüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# 4 $yJx. öNä.r&yt/ tbrߊqãès? ÇËÒÈ  
Luruskan mukamu di setiap sholat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan keta’atanmu kepada-Nya (Qs. 7 al-a’raaf : 29)
Dari ayat tersebut, Allah hendak menyampaikan kepada manusia bahwa sholat itu memerlukan sikap lahir dan batin yang saling berkolerasi atau berhubungan. Meluruskan muka adalah memantapkan seluruh gerakan anggota tubuh dan menyesuaikannya dengan konsentrasi jiwa menghadap sang Maha Pencipta alam semesta. Disaat mulut membaca al-Fatihah, hati harus mengikutinya dengan sebisa mungkin memahami secara luas arti al-Fatihah sementara pikiran berkonsentrasi dengan gerak mulut dan hati, inilah keseimbangan yang di-istilahkan dengan khusuk dalam ayat berikut :
ôs% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# ÇÊÈ   tûïÏ%©!$# öNèd Îû öNÍkÍEŸx|¹ tbqãèϱ»yz ÇËÈ  
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, Yaitu orang-orang yang khusuk dalam sholatnya (Qs. 23 al-mu’minuun : 1-2)
Jadi, khusuk adalah suatu perbuatan yang menyeimbangkan gerak lahir dan batin, sehingga terciptalah suatu konsistensi ketika ia diterapkan dalam kehidupan nyata, sesuai dengan komitmen yang dilafaskan dalam do’a iftitah :
ö@è% ¨bÎ) ÎAŸx|¹ Å5Ý¡èSur y$uøtxCur ÎA$yJtBur ¬! Éb>u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÏËÈ  
Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam (Qs. 6 Al-An’am:162)
Akhirnya sholat merupakan ritualitas multi dimensi yang semuanya mengarah kepada sipelakunya sendiri agar mendapat kebaikan, baik dalam hal mengontrol diri ketika masih hidup didunia maupun menjadi amal yang membantu saat penghisaban dihari kiamat kelak.
ô`tBur ß`|¡ômr& $YYƒÏŠ ô`£JÏiB zNn=ór& ¼çmygô_ur ¬! uqèdur Ö`Å¡øtèC yìt7¨?$#ur s'©#ÏB zOŠÏdºtö/Î) $ZÿÏZym 3 xsƒªB$#ur ª!$# zOŠÏdºtö/Î) WxŠÎ=yz ÇÊËÎÈ  
Lalu siapakah yang lebih baik agamanya selain orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah sedang diapun mengerjakan kebaikan ? (Qs. 4 an-Nisaa’: 125)
Sebagai pengantar awal, harus kita ingat lagi bahwa Sholat adalah sarana untuk memuja Tuhan sebagai salah satu sikap bersyukur dan sekaligus waktu untuk melakukan dialog, mengadukan semua keluh kesah yang dialami dan mencari jalan keluar dari aneka ragam permasalahan yang ada. Lebih jauh lagi ditinjau dari sisi metafisika, Sholat tidak ubahnya sebuah ritual meditasi, pemusatan konsentrasi untuk menyelaraskan energi yang ada didalam tubuh (energi statis) terhadap energi diluarnya yang maha besar (yang bersifat dinamis).
Dengan demikian, saat sholat terjadi kita sebenarnya sedang memancarkan sinyal-sinyal frekwensi terhadap alam semesta, terhadap lingkungan kita dan menjangkau sinar-sinar kosmik ilahiah yang sifatnya tak hingga. Karena itulah orang yang selalu melakukan sholat secara baik, dia bisa terhindar dari energi negatif yang mencelakakannya atau menggiringnya kedalam kehinaan.
žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍s3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çŽt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ  

Sesungguhnya, sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (Qs. 29 al-ankabut : 45)
Sebelum memulai sholat, sudah menjadi kesepakatan semua umat Islam dari berbagai alirannya untuk melakukan thaharah atau bersuci, yaitu dengan cara berwudhu. Praktek ini diperkuat dengan adanya perintah tertulis mengenainya didalam al-Qur’an.
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# ..... ÇÏÈ  
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki…. (Qs. 5 al-Maaidah: 6)
Dalam tradisi yang ada, teknis perintah berwudhu yang terdapat pada ayat diatas mengalami perkembangan, yaitu dengan adanya penambahan mencuci kedua tangan sebelum membasuh muka, lalu berkumur, menghisap air hidung, membasuh telinga hingga mencuci janggut. Meskipun demikian tidak bisa pula diartikan bahwa penambahan ini menyalahi ketentuan Allah didalam al-Qur’an. Kita bisa membaca dalam kitab-kitab hadis terkemuka bahwa penambahan yang terjadi ini dilakukan oleh Nabi Muhammad sendiri sebagai sunnah beliau untuk lebih membersihkan diri, apalagi bila kita ingat dimasa itu tanah Arabia sebagian besar terdiri dari bukit-bukit dan padang pasirnya sehingga debu dan kotoran cenderung lebih banyak melekat. Apalagi ada kemungkinan besar orang-orang Arab itu gemar memelihara jenggot sampai panjang kebawah, sementara al-Qur’an tidak memberikan informasi mengenai boleh tidaknya membasahi janggut sewaktu berwudhu, sederhana dan sepele kelihatannya, tetapi kita harus ingat, untuk urusan sepelepun terkadang kita sering salah, apalagi jika kita lihat konteks ayat tersebut turun dimana para pemeluk Islam generasi pertama masih dalam proses belajar agama yang baru mereka anut, adalah wajar dan rasional sekali bila hal seperti ini memerlukan jawaban atau contoh dari sipembawa ajaran itu sendiri.
Berwudhu bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan air dan menggunakan tanah atau debu yang sudah dibersihkan. Adapun cara kedua tersebut dilakukan hanya apabila tidak dijumpainya air yang bersih atau karena sakit yang mengakibatkannya tidak dapat bersentuhan dengan air.
bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3ƒÏ÷ƒr&ur 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #qàÿtã #·qàÿxî ÇÍÌÈ  
Dan jika kamu sakit atau habis buang air atau kamu selesai bersetubuh sedang kamu tidak mendapat air maka hendaklah kamu cari debu yang bersih, lalu hendaklah kamu sapu muka kamu dan tangan kamu karena sungguh Allah itu sangat memudahkan dan Maha mengampuni. (Qs. 4 an-Nisaa’ 43)
Usai melakukan wudhu, berdirilah tegak menghadap kiblat (arah masjid al-Haram) lalu mulailah bertakbir , yaitu mengucapkan Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Istilah Allahu Akbar ini memang tidak dijumpai dalam al-Qur’an, sebaliknya al-Qur’an memperkenalkan sifat al-Kabir sebagai salah satu asma Allah
Akan tetapi harus diingat bahwa dalam ayat-ayat tersebut Tuhan memerintahkan kita untuk mengagungkan-nya, membesarkan-Nya. Sementara kata al-Kabir sendiri berfungsi sebagai kata kerja (verb) didalam bahasa Arab yang jika diucapkan (dilakukan) bisa menjadi Akbar, Istilah Takbirah adalah bentuk noun dari ungkapan Allahu Akbar sebagaimana yang bisa dijumpai dalam tradisi Arabia.
yang artinya agungkanlah Dia #Surah 17:111 menyebutkan istilah  dengan pengagungan yang sebenar-benarnya (Kabbir takbiran) dan ini adalah bersamaan maknanya dengan Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Kita tidak bisa menolak istilah Allahu Akbar seperti yang dijumpai dalam tradisi sholat dan diriwayatkan oleh sejumlah hadis hanya karena istilah ini tidak dijumpai didalam al-Qur’an, apalagi menggantinya dengan istilah Allahu Kabir seperti yang dilakukan oleh sejumlah orang ingkar sunnah. Terbukti didalam tradisi yang sampai kepada kita dari generasi kegenerasi, tidak ada satupun terdengar berita dalam berbagai saluran periwayatan bahwa Nabi ataupun seorang Muslim diluarnya mengucapkan Allahu Kabir didalam sholat.
C.   Hubungan Shalat dengan Puasa
Dalam agama Islam, kita mengenal istilah Rukun Islam, yang terdiri dari lima perkara yaitu : syahadat, shalat, puasa. zakat dan haji. Kelima perkara itu merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan, makanya perkara tersebut dinamakan rukun, yang artinya satu kesatuan atau tidak terpisah. Sebenarnya kata “rukun” berasal dari serapan bahasa Arab, yaitu ruku’ yang artinya sudut atau siku. Sedangkan Islam berarti damai. Berdasarkan arti ini, dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai kedamaian (Islam) dapat ditempuh dengan lima sudut jalan dimana kelima sudut tersebut saling berhubungan. Kelima sudut Islam tersebut, dapat diumpamakan gambar segi empat.
Berdasarkan gambar segiempat, terlihat bahwa sudut puasa merupakan pusat dari empat sudut rukun Islam lainnya. Kalau dikaitkan dengan jari tangan kita, rukun Islam dapat diumpamakan jari tengah adalah simbol puasa, sedangkan jari jempol simbol dari syahadat, jari telunjuk simbol dari shalat, jari manis simbol dari zakat dan jari kelingking simbol dari haji. Kelima jari tangan kita merupakan satu kesatuan yang utuh dan sempurna.
Mengapa ibadah puasa menjadi pusat dari rukun Islam ? Inilah misteri yang akan kita bahas. Kita sudah mengetahui bahwa hanya ibadah puasalah yang bersifat sangat rahasia kerena untuk mengetahui seseorang itu berpuasa atau tidak hanya dirinya dan Allah-lah yang mengetahuinya. Sehingga ibadah puasa menjadi rahasia bagi seorang hamba dengan Tuhannya.
“Setiap amal anak Adam adalah untuk anak Adam itu sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan Akulah yang akan memberi ganjaran atas puasanya itu”. (HR Bukhari) 
Dari Hadits tersebut, ternyata hanya ibadah puasalah yang amalnya diperuntukkan Allah. Kemudian hanya Allah yang berhak memberi ganjaran atas puasanya itu. Apakah ganjaran bagi orang yang berpuasa itu ? terlihat dengan jelas bahwa ganjaran bagi orang yang berpuasa adalah kegembiraan ketika berbuka dan bertemu dengan Allah. Selama ini kita sudah berpuasa sekian tahun, akan tetapi, sudahkah kita mendapat pengalaman spiritual yang sangat mengembirakan yaitu bertemu dengan Allah Yang Maha Indah ? Kalau kita sudah berpuasa tapi belum pernah bertemu dengan Allah, lalu bagaimana caranya agar puasa kita dapat mengantarkan diri kita mencapai pengalaman bertemu dengan Allah ? 
Intisari dari amal ibadah puasa adalah menahan, mengekang dan mengendalikan diri kita dari makan dan minum serta dorongan hawa nafsu kita yang keluar dari sembilan lubang kehidupan yang ada dikepala dan tubuh kita. Proses menahan aktivitas inderawi ini, sebenarnya sudah pernah kita alami dan lakukan, tetapi sayangnya kita telah melupakan peristiwa tersebut. Pengalaman berpuasa itu adalah ketika diri kita masih berupa janin bayi yang berada dalam kandungan seorang ibu. Di dalam kandungan tersebut, kita sebagai bayi, tidak melakukan aktivitas inderawi, karena kita sedang berendam dalam air ketuban yang mengalir dan bersirkulasi. Dengan kata lain, saat itu kita tidak makan dan minum melalui lubang mulut, kita juga tidak melakukan buang air besar dan kecil, tidak berbicara kotor, tidak melihat dan mendengar hal-hal yang berbau maksiat. Singkatnya kita memang sedang melakukan ibadah puasa secara kafah atau total selama sembilan bulan. Saat itulah kita sedang menerima dan menikmati kegembiraan yang luar biasa, yaitu kita sedang mendapat curahan kasih dan sayang dari Allah di alam rahim. Kita saat itu tidak merasakan bahagia atau sedih, panas atau dingin, manis atau pahit dan sebagainya. Mengapa hal itu bisa kita alami ? karena kita saat itu sedang bertatap muka (tawajuh) dengan Allah di alam rahim-Nya. Sesuai dengan firman-Nya :
“Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Wajah Allah, yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kehanifan dan aku tidak termasuk orang musyrik” (QS Al An’am 6 :179)
Setelah lahir, pintu indera jasmani kita terbuka dan mulai menikmati keindahan duniawi, disisi lain pintu-pintu indera batin kita perlahan mulai tertutup, sehingga lambat laun kita melupakan pengalaman bertemu dengan Allah ketika berpuasa di dalam kandungan tersebut. 
Untuk mendapatkan kembali pengalaman bertemu dengan Allah itu dengan berpuasa, di utuslah para Nabi dan Rasul dengan membawa Kitab-Kitab Suci-Nya, yang isinya adalah Peringatan (Adz Dzikra) yang mengingatkan kita, karena kita telah lupa ingatan terhadap asal mula kejadian kita dalam kandungan. Para Juru Ingat tersebut menyeru dengan satu seruan agar kita kembali menghadap dan menemui asal kita yaitu Allah dengan cara mengulang kembali ke awal mula kejadian diri kita dahulu. Seruan itu di isyaratkan dalam Al Qur’an dan Injil :
“Katakanlah : “Sesungguhnya aku mengajarkan kepada kamu dengan satu ajaran saja, yaitu bahwa kamu harus bangkit untuk menghadap Allah , berdua-dua atau sendiri-sendiri, kemudian hendaklah kamu pikirkan , tiadalah sahabat kamu itu gila, dia tiada lain hanyalah pemberi Peringatan kepada kamu, sebelum datang azab yang sangat keras”. ( QS Saba’ 34 : 46)
“Sesungguhnya kamu akan datang kembali menemui Kami dengan sendiran seperti kamu Kami ciptakan pada awal mula penciptaan, dan pada saat itu kamu akan meninggalkan dibelakangmu semua apa yang dianugerahkan Allah kepadamu.........”. (QS Al An’am 6 : 94)
“Yesus berkata : Sesungguhnya aku berkata kepadamu, Jika kamu tidak kembali seperti bayi dalamkandungan, sekali-kali kamu tidak dapat masuk ke dalam kerajan Allah”. (Injil, Matius 18 : 3)
Jika kita ingin bertemu dengan Allah, kita harus menggingat dan mengulang kembali perjalanan dan pengalaman diri kita, ketika diciptakan oleh Allah pada pertama kali, yaitu ketika diri kita terendam dalam air ketuban dan ketika inderawi kita sedang tidak berfungsi. 
Untuk mengulang kembali peristiwa itu Allah memerintahkan kita untuk melakukan ibadah puasa seperti yang pernah kita lakukan dahulu dalam kandungan seorang ibu. Inilah perintah puasa yang diisyaratkan oleh Allah dalam Al Qur’an :
“Wahai orang-orang yang beriman, telah ditetapkan atas kamu berpuasa seperti telah ditetapkan kepada orang-orang terdahulu dari kamu supaya kamu terpelihara”. (QS Al Baqarah 2 : 183)
Berdasarkan ayat tersebut, Allah memerintahkan agar kita berpuasa kembali seperti puasa yang per nah kita lakukan dahulu dalam kandungan seorang ibu. Mungkin timbul pertanyaan dalam diri kita, bagaimana caranya kita kembali ke dalam kandungan atau alam rahim ?
Kita sering tidak menyadari arti kata “kamaa”. Dalam ayat-ayat diatas. Dalam bahasa Arab, kata “kamaa” artinya adalah “seperti, sebagaimana atau bagaikan”. Dari arti ini dapat disimpulkan bahwa perintah untuk kembali ke awal kejadian adalah bukan dalam arti sesungguhnya, tetapi mirip dengan kejadian awal. Jadi kita harus mengkondisikan diri kita seperti kondisi yang mirip dengan suasana di dalam kandungan. Suasana dalam kandungan adalah penuh kedamaian, karena indera kita sedang tidak berfungsi. Begitupula jika kita melakukan ibadah puasa, kita bukan saja manahan diri dari makan dan minum saja tetapi juga harus menahan diri dari mendengar, melihat, dan mencium aroma yang ada di luar diri kita. Pada saat itu yang kita lakukan hanyalah berdzikrullah sampai kita bertemu dengan Allah, yang dikiaskan dengan munculnya “Asy Syamsu”(matahari) atau “Asy Syahru” (bulan).
“....Barang siapa diantara kamu menyaksikan “syahra”, maka hendaklah ia berpuasa....”.(QS Al Baqarah 2 : 185)
Kata “syahra” merupakan kata simbolis dari Nur Allah yang tajalli dalam diri orang yang berpuasa. Pada saat Nur Allah tajalli dalam diri dan tersaksikan, maka orang tersebut harus berpuasa dengan menahan diri untuk tidak makan, minum, mendengar, melihat, berbicara dan berfikir yang negatif. Inilah yang dikatakan dalam bahasa agama, bahwa kita mengawali berpuasa dengan sistem ru’yat. Apakah yang diru’yat oleh orang yang berpuasa ? tentunya adalah Ru’yatullah (melihat Allah). 
Ada juga yang melakukan ibadah puasa dahulu baru kemudian nanti melihat “syahra”, inilah yang disebut dengan mengawali puasa dengan sistem “hisab”. Artinya seseorang menahan diri dulu dari aktifitas inderawi, baru kemudian secara perlahan dia akan melihat “syahra” atau Nur Allah.
Berapa lama kita melakukan ibadah puasa, tergantung dari seberapa lama “Asy Syamsu” tersaksikan oleh pelaku puasa. Dengan kata lain lamanya puasa kita tergantung dari seberapa lama Nur Allah yang tajalli dan tersaksikan oleh mata batin kita. Inilah, yang dalam bahasa syariat, bahwa orang berpuasa dimulai dari terbitnya sinar matahari sampai terbenamnya sinar matahari. Peristiwa inilah yang diisyaratkan dalam Al Qur’an. 
“Apakah engkau mengira sesungguhnya penghuni gua dan raqim itu adalah termasuk tanda-tanda Kami yang mengagumkan? Ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua, lalu mereka berkata : “ Ya Tuhan kami, berilah kami rahmat dari sisi-Mu dan siapkanlah petunjuk dalam urusan kami”. Lalu Kami menutup telinga mereka di dalam gua itu bertahun-tahun lamanya. Kemudian Kami bangunkan mereka untuk Kami buktikan siapa yang lebih dapat menghitung masa mereka tinggal”. (QS Al Kahfi 18 : 9-12)
“Dan engkau mengira mereka bangun padahal mereka tidur. Kami balikkan mereka ke kanan dan ke kiri sedang anjing mereka terbentang kedua lengannya di muka pintu gua...”. (QS Al Kahfi 18 : 18) 
Secara simbolis, ayat tersebut diatas sebenarnya mengisahkan peristiwa seorang yang sedang melakukan puasa dalam rangka bertemu dengan Allah, yang dilakukan oleh “ tujuh penghuni gua”. 
Ash Habul Kahfi artinya penghuni gua yang berjumlah tujuh. Ini adalah simbol dari tujuh rasa kesadaran yang menghuni tujuh lubang inderawi yang ada di kepala manusia. Sedang raqim (batu tulis) adalah simbol dari petunjuk yang telah ditanamkan dengan kuat dalam qalbu penghuni gua. Sedangkan anjing simbol dari struktur bangunan tubuh manusia. 
Ketika pengaruh kenikmatan duniawi yang tercerap oleh tujuh lubang inderawi kita, sudah sedemikian kuat. Maka kita harus secepatnya melindungi diri kita dari pengaruh kenikmatan duniawi tersebut dengan cara “berpuasa” menahan aliran kesadaran yang mengarah keluar menjadi ke arah dalam diri dengan cara menutup “pintu gua inderawi”. Setelah pintu gua inderawi tertutup, maka kita bermohon kepada Allah agar diberikan Rahmat dan Rahim serta Nur Hidayah. Munculnya Rahmat dan Hidayah ini dikiaskan dengan terlihatnya sinar matahari yang terbit dari kanan gua ke arah kiri gua. Dengan munculnya Nur Allah yang dikiaskan dengan “Sinar matahari” yang tersaksikan oleh mata batin kita, maka lambat laun kesadaran jasmani kita akan menghilang secara berangsur-angsur, sehingga kita tidak lagi mengingat lintasan peristiwa yang terjadi diluar diri kita, sampai kita terbangun kembali dengan kesadaran yang baru.
Selama pintu gua tertutup, maka selama itu pula hawa nafsu yang bersarang pada jasmani kita tidak dapat masuk kedalam gua, inilah yang dikiaskan dengan “anjing”nya menunggu diluar dengan membentangkan kedua lengannya ke arah pintu gua. Arti simbolis dari membentangkan atau menjulurkan kedua lengan ke arah muka pintu gua adalah bahwa, agar kita terbebas dari cengkeram dan kejaran hawa nafsu yang ganas, maka kita harus berlindung ke dalam gua dengan cara menutup pintu gua dengan tangan kita. Agar rangsangan nafsu yang tercerap oleh inderawi akan mati secara perlahan. Ketika hal ini terjadi, barulah kita akan melihat kehadiran Nur Allah dengan mata batin kita.
Menutup pintu gua inderawi dengan kedua lengan “anjing” kita, inilah yang disebut dengan mengangkat kedua tangan kita mendekat ke arah pintu inderawi yang ada dikepala, ketika kita melakukan gerakan “Takbirat al Ihram”(Takbir Larangan). Di saat inilah, kita mengharamkan telinga kita untuk mendengarkan suara apapun kecuali Suara Allah, mengharamkan mata kita untuk melihat apapun kecuali melihat obyek sujud kita yaitu Nur Allah, mengharamkan hidung kita kecuali untuk mencium aroma Nur Ilahi dan mengharamkan mulut kita mengucap sesuatu kecuali mengucapkan kalam Ilahi.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa puasa pada hakikat adalah cikal bakal dari semua peribadatan dalam rukun Islam, karena dengan berpuasa sesungguhnya kita juga telah terhubung (shalat,shilah) dengan Allah (shalatullah). Dengan berpuasa kita juga telah menyaksikan kehadiran Allah(syahadatullah). Dengan berpuasa, kita juga telah melakukan zakat (menyucikan) tujuh penghuni gua inderawi. Dan terakhir, ketika kita berpuasa, sesungguhnya kita sedang bertamu untuk ketemu dengan Allah dengan wuquf (menghentikan) jalannya aktifitas inderawi dalam rangka untuk ‘Arafah (mengenal) Cahaya Allah Yang Sangat Padang (ma’rifatullah) di padang ‘Arafah.




BAB III
PENUTUP


A.   Kesimpulan
Thaharah adalah bersih dari kotoran atau mensucikan diri
Shalat adalah ibadah yang terdiri atas beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir yang diakhiri dengan salam
Puasa adalah menahan dengan niat ibadah dari makanan, minuman, hubungan suami istri dan semua hal yang membatalkan puasa

B.   Saran
Agama Islam sangat memperhatikan masalah thararah karena dalam ilmu fiqih poin pertama yang dijumpai adalah masalah thaharah. Shalat, adalah tiang agama karena tanpa shalat berarti kita sama saja meruntuhkan agama. Ibarat rumah, kalau tidak ada tiangnya tentu akan runtuh. Puasa adalah menahan nafsu. Islam mengajak kita berpuasa agar menahan nafsu. Semoga makalah ini sangat bermanfaat bagi kita semua. Jika terdapat kesalahan harap dimaklumi, karena manusia tidak pernah luput dari kesalahan.


DAFTAR PUSTAKA



No comments: